Teori Botol Kosong
Salah satu teori yang pernah dianut dalam dunia pendidikan ialah teori tabula rasa. Teori ini menganggap anak didik menyerupai botol kosong atau kain/lilin putih yang sanggup dan siap diisi apa saja sekehendak pendidik. Pendidik berwenang penuh untuk mengakibatkan apapun atas anak didiknya.
Dalam agama Islam juga dijelaskan bahwa anak ialah menyerupai kertas kosong yang nantinya sekehendak orangtuanya untuk menggores/menulisnya, sampai anak tersebut menjadi apa?
Dalam agama Islam juga dijelaskan bahwa anak ialah menyerupai kertas kosong yang nantinya sekehendak orangtuanya untuk menggores/menulisnya, sampai anak tersebut menjadi apa?
Tabula rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang insan lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh bertahap melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.
Umumnya para pendukung pandangan tabula rasa akan melihat bahwa pengalamanlah yang kuat terhadap kepribadian, sikap sosial dan emosional, serta kecerdasan.
Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John Locke di kala 17. Dalam filosofi Locke, tabula rasa ialah teori bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa "kertas kosong" tanpa hukum untuk memroses data, dan data yang ditambahkan serta hukum untuk memrosesnya dibuat hanya oleh pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari empirisme Lockean. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong" dikala lahir, dan juga ditekankan ihwal kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat insan tidak sanggup ditukar. Dari perkiraan ihwal jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat insan inilah lahir kepercayaan Lockean ihwal apa yang disebut alami (Wikipedia.org).
Mungkin masih ada diantara guru-guru kita yang memperlakukan siswa sebagai botol kosong yang perlu diisi air. Guru menganggap dirinya sebagai teko yang berisi air. Dalam hal ini, air itu ialah sejumlah ilmu pengetahuan yang harus dimasukkan ke otak para siswa. Jika teko itu berisi air putih, maka sesudah berguru otak anak akan berisi air putih. Begitu pula bila teko itu berisi air teh manis, maka pulang sekolah kepala anak akan berisi teh manis. Praktis mudahan saja tidak ada teko-teko di sekolah yang berisi minuman keras yang menciptakan generasi pemabok.
Jika analogi teori tersebut diatas kita anut secara sakleg, maka akan terdapat sejumlah kejanggalan dan kelemahan dalam implementasinya di dunia pendidikan, yakni: Pertama, semakin usang guru mengajar, air teko itu semakin berkurang, dan habis. Kedua, ilmu pengetahuan yang akan dimiliki siswa persis sama dengan ilmu yang dituangkan dari teko. Ketiga, jumlah ilmu yang diperoleh siswa di sekolah, maksimal sebanyak air yang berada dalam teko itu.
Saya percaya Anda tidak sependapat dengan analogi ini. Ya, proses pendidikan dan pembelajaran memang tidak selinier itu. Banyak faktor lain yang mempengaruhi proses dan hasil berguru di sekolah. Guru hanyalah salah satu sumber berguru di samping banyak sumber berguru lain di sekolah. Bahkah, dikala ini guru bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber bagi siswa. Alangkah sayangnya bila dikala ini masih ada guru yang menganggap dirinya sebagai sumber berguru utama (apa lagi satu satunya sumber belajar) bagi anak didikanya.
Sumber: Dirangkum dari banyak sekali sumber!
0 Response to "Teori Botol Kosong"
Post a Comment