Sambutan Mendikbud Pada Peringatan Hari Abjad Internasional Ke-50 Tahun 2015
Sambutan Mendikbud Pada Peringatan Hari Aksara Internasional Ke-50 Tahun 2015
Sehubungan dengan peringatan Hari Aksara Internasional ke-50 ini, sambutan resmi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Peringatan Hari Aksara Internasional Tanggal 24 Tahun 2015, selengkapnya sebagai berikut :
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi, Salam sejahtera untuk kita semua
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Mengawali sambutan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, atas perkenan rahmat dan hidayahNya, sehingga kita semua masih dikaruniai kesehatan, kekuatan dan kesempatan untuk terus melanjutkan dedikasi kita kepada bangsa dan negara tercinta.
Izinkan saya memulai pembicaraan dengan bertanya sebuah hal sederhana. “Berapa banyak penduduk kita yang bisa membaca ketika para pendiri Republik menyatakan kemerdekaan?”
Pada ketika kita dengan lantang berteriak merdeka, lebih dari 90 persen penduduk kita bahkan tak bisa menuliskan namanya sendiri. Maka bayangkan ketika Bung Karno mengatakan, “Beri saya sepuluh pemuda!” boleh jadi 9 dari 10 cowok tersebut tak bisa mengeja namanya.
Fakta itu boleh jadi mencengangkan, tapi apa yang para pendiri Republik ini lakukan jauh lebih mencengangkan.
Usaha melawan ketidakterdidikan telah para pendiri Republik ini gaungkan bahkan sebelum Republik ini menyatakan kemerdekaannya. Ki Hadjar Dewantara dalam “Rapat Panitia Adat dan Tatanegara Dahulu” sebelum proklamasi mengatakan, “Sebenarnya dari pihak rakyat sendiri sudah semenjak usang nampak perjuangan hendak memberantas buta huruf di kalangan rakyat ini.”
Ki Hadjar kemudian mencontohkan dari Kongres Putri hingga Rukun Tani melaksanakan kegiatan pengajaran membaca. Kesadaran akan pentingnya membaca bukan tiba-tiba hadir hari-hari ini, ia lahir bahkan sebelum proklamasi kita canangkan.
Ikhtiar itu terus kita bawa jauh sehabis proklamasi. Saya ingat sebuah foto Bung Karno di depan spanduk ketika ia bicara di Yogyakarta. Tulisan di spanduk itu tak ibarat biasa. Spanduk itu dimulai dengan sebuah kata, “Bantulah”. Lengkapnya “Bantulah perjuangan pemberantasan buta-huruf !”.
Pemerintah membuka tangannya untuk bekerjasama. Mengajak berkolaborasi. Hasilnya dahsyat!
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian bermetamorfosis dari tak terdidik menjadi terdidik.
asan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian bermetamorfosis dari tak terdidik menjadi terdidik.
Hadirin yang berbahagia,
Pekerjaan rumah bukan berarti telah selesai. Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat telah mengantar kita pada gerbang keberaksaraan. Tapi, kiprah tak simpulan hingga di sini.
Pada tahun 2010 penduduk Indonesia usia 15-59 tahun yang melek huruf sekitar 95,21 persen. Angka ini kemudian naik pada tahun 2014 menjadi sebesar 96,3 persen. Angka tersebut memperlihatkan keberhasilan kita memenuhi sasaran Deklarasi Dakar perihal Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA) bahwa Indonesia sanggup menurunkan separuh penduduk tuna huruf menjadi kurang dari 5 persen pada 2015. Tapi angka itu juga berarti masih ada sekitar 5,9 juta orang yang belum bisa mengeja dan menulis namanya sendiri.
Saat ini tercatat sebanyak 8 provinsi yang persentase tuna aksaranya masih di atas 5 persen. Angka-angka itu bukan sekadar gugusan statistik buta huruf. Angka itu memberi pesan nyaring belum semua warga negeri ini bisa menuliskan “Indonesia” dalam secarik kertas.
Tantangan huruf bukan sekadar bisa membaca, tantangan keberaksaraan lebih besar dari itu. Jika kita lihat dalam konteks itu, maka bisa jadi angka “buta aksara” kita masih mengkhawatirkan.
Taufik Ismail, salah satu sastrawan kita, pada ketika mendapatkan Habibie Award tahun 2007 menyampaikan bahwa kita masih diselimuti oleh “Generasi Nol Buku”. Generasi yang tak membaca satu pun buku dalam satu tahun. “Generasi yang rabun membaca dan lumpuh menulis.”
Kekhawatiran Taufik Ismail itu bukan kekhawatiran kosong belaka, sastrawan besar kita Buya Hamka pernah mengatakan, “Setiap insan perlu membaca buku, lantaran pena seseorang tidak akan berisi jikalau sekiranya ia kurang membaca”.
Pernyataan Taufik Ismail dan Buya Hamka ibarat sebuah lonceng atas data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menyatakan bahwa kemampuan literasi (membaca dan menulis) siswa Indonesia jauh tertinggal. Indonesia jauh tertinggal.
Maka kiprah kita jelas, “Generasi Nol Buku” ini harus kita ubah!
Keberaksaraan bukan sekadar mengubah yang tak bisa membaca menjadi bisa membaca, tetapi juga mendorong yang bisa membaca untuk terus membaca. Menjadi generasi yang menjelajah lewat huruf yang ia baca. Pertanyaan besarnya ialah bagaimana kita bersama akan mengubah keadaan “Generasi Nol Buku” ini?
Ibu dan Bapak yang saya hormati,
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat lakukan beberapa dekade silam sebenarnya bukan hanya sebuah perjuangan mengurangi angka buta aksara. Gerakan ini mengirimkan satu pesan tegas pada kita semua.
Secara konstitusional pendidikan ialah tanggung jawab pemerintah, tapi secara moral pendidikan ialah tanggung jawab setiap orang yang terdidik. Maka kita harus mengubah perspektif dalam mendorong kualitas keberaksaraan kita. Meningkatkan keberaksaraan ialah gerakan bersama.
Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud terus berikhtiar meningkatkan kualitas keberaksaraan kita. Kita juga mendorong percepatan acara keberaksaraan pada daerah-daerah yang mempunyai angka tuna huruf tinggi. Melalui “Afirmasi Pendidikan Keaksaraan Untuk Papua” (APIK PAPUA) kita melaksanakan percepatan peningkatan keberaksaan di kawasan Papua.
Ikhtiar untuk meningkatkan keberaksaraan juga kita lakukan melalui Permendikbud No. 23 tahun 2015 mengenai Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Salah satu poin utama dalam Permendikbud tersebut ialah semua warga sekolah baik siswa, guru, tenaga pendidikan, dan kepala sekolah wajib membaca buku selain buku teks pelajaran selama 15 menit sebelum hari pembelajaran.
Tujuannya terang yakni menggiatkan budaya membaca dan menghapus “Generasi Nol Buku”. Tantangan keberaksaraan kita sekarang tentu berbeda dengan tantangan ketika kemerdekaan. Kita tak hidup dalam ruang vakum, maka persaingan dan tantangan kala ini juga penting untuk kita jawab.
Salah satu kompetensi yang perlu kita dorong ialah insan Indonesia yang mempunyai kompetensi global dengan pemahaman akar rumput. Kemampuan berbahasa dan keberaksaraan ialah kendaraan bagi kita untuk menjawab kebutuhan insan Indonesia masa depan.
Maka salah satu kompetensi yang harus kita siapkan ialah kemampuan berbahasa dan berkomunikasi untuk pergaulan di level global dan akar rumput. Minimal ada tiga bahasa yang harus kita kuasai yakni Bahasa Indonesia, bahasa internasional, dan bahasa daerah.
Saya sengaja memakai istilah bahasa internasional bukan sekadar Bahasa Inggris lantaran ini sangat tergantung dengan komunitas internasional mana yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Lewat bahasa internasional kita berkawan dengan komunitas global. Melalui bahasa kawasan ialah kita memahami ragam kultur daerah, memahami akar rumput kita, dari mana kita berasal.
Menjawab tantangan keberaksaraan di kala ini tentu tak bisa kita lakukan dalam satu dua malam. Perlu kerja ekstra keras dan konsisten dari setiap kita untuk mewujudkannya. Tugas kita bersama bukan menyesali keadaan yang ada, kiprah kita bersama menjadi bab dari solusi!
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati, irin yang saya hormati,
Tentu menjadikan keberaksaraan sebagai gerakan bersama ialah ikhtiar kita bersama. Yang perlu kita jawab bersama ialah apa saja langkah-langkah kasatmata yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan keberaksaraan?
Setiap orang bisa ikut berkontribusi dengan langkah-langkah kasatmata berikut ini:
Pertama, setiap orangtua perlu mengenalkan huruf semenjak dini. Mengenalkan huruf bukan berarti eksklusif kita mulai dengan mengajarkan membaca dan menulis.
Perkenalan pertama bawah umur kita pada huruf ialah dengan merangsang ketertarikannya pada bacaan. Orangtua bisa membacakan dongeng untuk anak-anaknya. Praktik baik yang bisa kita lakukan ialah dengan menawarkan alokasi waktu khusus membacakan dongeng untuk anak.
Membacakan dongeng mungkin terkesan sederhana. Tapi dari sana bawah umur kita akan berimajinasi. Ia akan tahu bahwa lewat huruf dirinya bisa mengenal dunia.
Kedua, sekolah perlu membuka diri menjadi biro perubahan keberaksaraan. Bagaimana caranya? Caranya ialah dengan berkolaborasi bersama warga sekitar untuk mengelola kegiatan membaca baik di perpustakaan atau kemudahan membaca yang sudah ada.
Perpustakaan sekolah perlu lebih terbuka dengan menawarkan terusan pada warga sekitar untuk ikut membaca dan beraktivitas di sana. Warga sekitar juga bisa berperan aktif menghidupkan perpustakaan dengan ikut bertukar bacaan, mengadakan kegiatan literasi bersama siswa dan guru di sekolah dengan melibatkan pegiat sastra lokal.
Lewat keterbukaan dan kerja sama itu sekolah dan warga juga bisa ambil kiprah dengan menjadi balai pemberantasan buta aksara. Guru, kepala sekolah, warga, atau siswa berkolaborasi dengan pemangku kepentingan kawasan bisa bergantian mengajar membaca bagi warga yang belum bisa baca tulis.
Perpustakaan dan sekolah yang lebih terbuka dan erat ialah langkah penting menumbuhkan kecintaan huruf di lingkungan kita. Perpustakaan boleh sederhana, tapi kegiatan di dalamnya menghasilkan manfaat bagi banyak warga!
Untuk guru, saya berpesan satu hal, jadilah inspirator membaca. Jika guru aktif membaca maka muridnya niscaya gemar membaca! Tugas kita ialah menyebabkan dan menumbuhkan kecintaan membaca. Kebiasaan membaca tumbuh lantaran kecintaan bukan lantaran paksaan.
Ketiga, ambil kiprah aktif dalam kegiatan menulis. Membaca dan menulis ialah padu padan roda peradaban. Lewat membaca, insan menjelajah dunia tanpa batas, dengan menulis penjelajahan tersebut akan kita lestarikan.
Maka semua warga sekolah perlu mengaktifkan kegiatan menulis. Aktifkan majalah dinding sekolah, buat resensi atas buku yang warga sekolah baca, dan latih kemampuan menulis baik dengan praktik eksklusif atau melalui diskusi-diskusi sederhana di sekolah.
Upaya-upaya tersebut ialah praktik-praktik sederhana yang bisa kita lakukan. Kita percaya bahwa masingmasing kita punya bermacam-macam praktik baik yang bisa menjadi inspirasi.
Saya minta bagikan dan ceritakan praktik baik keberaksaraan yang sudah ibu dan bapak lakukan. Biarkan praktik baik itu jadi wangsit untuk meningkatkan keberaksaraan di titik-titik penjuru negeri ini!
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan Saya memberikan rasa prihatin kepada masyarakat Indonesia yang tengah mengalami tragedi alam tragedi asap akhir kebakaran hutan di beberapa wilayah dibumi kita tercinta ini. Sesuai pesan Bapak Presiden RI, Kepada para Kepala Daerah yang daerahnya terdampak tragedi asap, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah harus aktif terjun eksklusif ke lapangan memimpin pengendalian kebakaran dan mengatasi efek kabut asap.
Bila kualitas udara sudah melebihi angka toleransi, Presiden RI menginstruksikan kepada Mendikbud semoga menghentikan kegiatan pendidikan dan menyesuaikan standar pendidikan yang terhenti tersebut.
Presiden menggarisbawahi bahwa kebakaran hutan ini ialah persoalan kita bersama. Untuk itu, Presiden mendukung aneka macam bentuk inisiatif gerakan dalam masyarakat untuk terlibat eksklusif dalam memadamkan api maupun dalam mengatasi efek kabut asap.
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Akhirnya sebagai epilog sambutan ini, Saya memberikan terima kasih dan apresiasi kepada Gubernur Jawa Barat dan Bupati Karawang serta seluruh masyarakat Jawa Barat yang telah bersedia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Aksara Internasional Tingkat Nasional Tahun 2015.
Saya ucapkan selamat dan penghargaan kepada para Gubernur/Bupati/Walikota yang mendapatkan Anugerah Aksara tahun ini, atas kesepakatan yang tinggi dalam menurunkan angka tuna huruf di wilayahnya. Ucapan selamat juga kepada para pimpinan lembaga/organisasi penyelenggara acara PAUD dan Dikmas yang meraih juara lomba satuan PNF berprestasi, yang telah ikut mensukseskan gerakan nasional percepatan penuntasan tuna huruf dan gerakan berkolaborasi dengan masyarakat.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala upaya dan perjuangan kita dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan harapan kemerdekaan kita.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Karawang, 24 Oktober 2015
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
ANIES BASWEDAN
Sehubungan dengan peringatan Hari Aksara Internasional ke-50 ini, sambutan resmi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Peringatan Hari Aksara Internasional Tanggal 24 Tahun 2015, selengkapnya sebagai berikut :
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi, Salam sejahtera untuk kita semua
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Mengawali sambutan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, atas perkenan rahmat dan hidayahNya, sehingga kita semua masih dikaruniai kesehatan, kekuatan dan kesempatan untuk terus melanjutkan dedikasi kita kepada bangsa dan negara tercinta.
Izinkan saya memulai pembicaraan dengan bertanya sebuah hal sederhana. “Berapa banyak penduduk kita yang bisa membaca ketika para pendiri Republik menyatakan kemerdekaan?”
Pada ketika kita dengan lantang berteriak merdeka, lebih dari 90 persen penduduk kita bahkan tak bisa menuliskan namanya sendiri. Maka bayangkan ketika Bung Karno mengatakan, “Beri saya sepuluh pemuda!” boleh jadi 9 dari 10 cowok tersebut tak bisa mengeja namanya.
Fakta itu boleh jadi mencengangkan, tapi apa yang para pendiri Republik ini lakukan jauh lebih mencengangkan.
Usaha melawan ketidakterdidikan telah para pendiri Republik ini gaungkan bahkan sebelum Republik ini menyatakan kemerdekaannya. Ki Hadjar Dewantara dalam “Rapat Panitia Adat dan Tatanegara Dahulu” sebelum proklamasi mengatakan, “Sebenarnya dari pihak rakyat sendiri sudah semenjak usang nampak perjuangan hendak memberantas buta huruf di kalangan rakyat ini.”
Ki Hadjar kemudian mencontohkan dari Kongres Putri hingga Rukun Tani melaksanakan kegiatan pengajaran membaca. Kesadaran akan pentingnya membaca bukan tiba-tiba hadir hari-hari ini, ia lahir bahkan sebelum proklamasi kita canangkan.
Ikhtiar itu terus kita bawa jauh sehabis proklamasi. Saya ingat sebuah foto Bung Karno di depan spanduk ketika ia bicara di Yogyakarta. Tulisan di spanduk itu tak ibarat biasa. Spanduk itu dimulai dengan sebuah kata, “Bantulah”. Lengkapnya “Bantulah perjuangan pemberantasan buta-huruf !”.
Pemerintah membuka tangannya untuk bekerjasama. Mengajak berkolaborasi. Hasilnya dahsyat!
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian bermetamorfosis dari tak terdidik menjadi terdidik.
asan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian bermetamorfosis dari tak terdidik menjadi terdidik.
Hadirin yang berbahagia,
Pekerjaan rumah bukan berarti telah selesai. Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat telah mengantar kita pada gerbang keberaksaraan. Tapi, kiprah tak simpulan hingga di sini.
Pada tahun 2010 penduduk Indonesia usia 15-59 tahun yang melek huruf sekitar 95,21 persen. Angka ini kemudian naik pada tahun 2014 menjadi sebesar 96,3 persen. Angka tersebut memperlihatkan keberhasilan kita memenuhi sasaran Deklarasi Dakar perihal Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA) bahwa Indonesia sanggup menurunkan separuh penduduk tuna huruf menjadi kurang dari 5 persen pada 2015. Tapi angka itu juga berarti masih ada sekitar 5,9 juta orang yang belum bisa mengeja dan menulis namanya sendiri.
Saat ini tercatat sebanyak 8 provinsi yang persentase tuna aksaranya masih di atas 5 persen. Angka-angka itu bukan sekadar gugusan statistik buta huruf. Angka itu memberi pesan nyaring belum semua warga negeri ini bisa menuliskan “Indonesia” dalam secarik kertas.
Tantangan huruf bukan sekadar bisa membaca, tantangan keberaksaraan lebih besar dari itu. Jika kita lihat dalam konteks itu, maka bisa jadi angka “buta aksara” kita masih mengkhawatirkan.
Taufik Ismail, salah satu sastrawan kita, pada ketika mendapatkan Habibie Award tahun 2007 menyampaikan bahwa kita masih diselimuti oleh “Generasi Nol Buku”. Generasi yang tak membaca satu pun buku dalam satu tahun. “Generasi yang rabun membaca dan lumpuh menulis.”
Kekhawatiran Taufik Ismail itu bukan kekhawatiran kosong belaka, sastrawan besar kita Buya Hamka pernah mengatakan, “Setiap insan perlu membaca buku, lantaran pena seseorang tidak akan berisi jikalau sekiranya ia kurang membaca”.
Pernyataan Taufik Ismail dan Buya Hamka ibarat sebuah lonceng atas data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menyatakan bahwa kemampuan literasi (membaca dan menulis) siswa Indonesia jauh tertinggal. Indonesia jauh tertinggal.
Maka kiprah kita jelas, “Generasi Nol Buku” ini harus kita ubah!
Keberaksaraan bukan sekadar mengubah yang tak bisa membaca menjadi bisa membaca, tetapi juga mendorong yang bisa membaca untuk terus membaca. Menjadi generasi yang menjelajah lewat huruf yang ia baca. Pertanyaan besarnya ialah bagaimana kita bersama akan mengubah keadaan “Generasi Nol Buku” ini?
Ibu dan Bapak yang saya hormati,
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat lakukan beberapa dekade silam sebenarnya bukan hanya sebuah perjuangan mengurangi angka buta aksara. Gerakan ini mengirimkan satu pesan tegas pada kita semua.
Secara konstitusional pendidikan ialah tanggung jawab pemerintah, tapi secara moral pendidikan ialah tanggung jawab setiap orang yang terdidik. Maka kita harus mengubah perspektif dalam mendorong kualitas keberaksaraan kita. Meningkatkan keberaksaraan ialah gerakan bersama.
Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud terus berikhtiar meningkatkan kualitas keberaksaraan kita. Kita juga mendorong percepatan acara keberaksaraan pada daerah-daerah yang mempunyai angka tuna huruf tinggi. Melalui “Afirmasi Pendidikan Keaksaraan Untuk Papua” (APIK PAPUA) kita melaksanakan percepatan peningkatan keberaksaan di kawasan Papua.
Ikhtiar untuk meningkatkan keberaksaraan juga kita lakukan melalui Permendikbud No. 23 tahun 2015 mengenai Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Salah satu poin utama dalam Permendikbud tersebut ialah semua warga sekolah baik siswa, guru, tenaga pendidikan, dan kepala sekolah wajib membaca buku selain buku teks pelajaran selama 15 menit sebelum hari pembelajaran.
Tujuannya terang yakni menggiatkan budaya membaca dan menghapus “Generasi Nol Buku”. Tantangan keberaksaraan kita sekarang tentu berbeda dengan tantangan ketika kemerdekaan. Kita tak hidup dalam ruang vakum, maka persaingan dan tantangan kala ini juga penting untuk kita jawab.
Salah satu kompetensi yang perlu kita dorong ialah insan Indonesia yang mempunyai kompetensi global dengan pemahaman akar rumput. Kemampuan berbahasa dan keberaksaraan ialah kendaraan bagi kita untuk menjawab kebutuhan insan Indonesia masa depan.
Maka salah satu kompetensi yang harus kita siapkan ialah kemampuan berbahasa dan berkomunikasi untuk pergaulan di level global dan akar rumput. Minimal ada tiga bahasa yang harus kita kuasai yakni Bahasa Indonesia, bahasa internasional, dan bahasa daerah.
Saya sengaja memakai istilah bahasa internasional bukan sekadar Bahasa Inggris lantaran ini sangat tergantung dengan komunitas internasional mana yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Lewat bahasa internasional kita berkawan dengan komunitas global. Melalui bahasa kawasan ialah kita memahami ragam kultur daerah, memahami akar rumput kita, dari mana kita berasal.
Menjawab tantangan keberaksaraan di kala ini tentu tak bisa kita lakukan dalam satu dua malam. Perlu kerja ekstra keras dan konsisten dari setiap kita untuk mewujudkannya. Tugas kita bersama bukan menyesali keadaan yang ada, kiprah kita bersama menjadi bab dari solusi!
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati, irin yang saya hormati,
Tentu menjadikan keberaksaraan sebagai gerakan bersama ialah ikhtiar kita bersama. Yang perlu kita jawab bersama ialah apa saja langkah-langkah kasatmata yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan keberaksaraan?
Setiap orang bisa ikut berkontribusi dengan langkah-langkah kasatmata berikut ini:
Pertama, setiap orangtua perlu mengenalkan huruf semenjak dini. Mengenalkan huruf bukan berarti eksklusif kita mulai dengan mengajarkan membaca dan menulis.
Perkenalan pertama bawah umur kita pada huruf ialah dengan merangsang ketertarikannya pada bacaan. Orangtua bisa membacakan dongeng untuk anak-anaknya. Praktik baik yang bisa kita lakukan ialah dengan menawarkan alokasi waktu khusus membacakan dongeng untuk anak.
Membacakan dongeng mungkin terkesan sederhana. Tapi dari sana bawah umur kita akan berimajinasi. Ia akan tahu bahwa lewat huruf dirinya bisa mengenal dunia.
Kedua, sekolah perlu membuka diri menjadi biro perubahan keberaksaraan. Bagaimana caranya? Caranya ialah dengan berkolaborasi bersama warga sekitar untuk mengelola kegiatan membaca baik di perpustakaan atau kemudahan membaca yang sudah ada.
Perpustakaan sekolah perlu lebih terbuka dengan menawarkan terusan pada warga sekitar untuk ikut membaca dan beraktivitas di sana. Warga sekitar juga bisa berperan aktif menghidupkan perpustakaan dengan ikut bertukar bacaan, mengadakan kegiatan literasi bersama siswa dan guru di sekolah dengan melibatkan pegiat sastra lokal.
Lewat keterbukaan dan kerja sama itu sekolah dan warga juga bisa ambil kiprah dengan menjadi balai pemberantasan buta aksara. Guru, kepala sekolah, warga, atau siswa berkolaborasi dengan pemangku kepentingan kawasan bisa bergantian mengajar membaca bagi warga yang belum bisa baca tulis.
Perpustakaan dan sekolah yang lebih terbuka dan erat ialah langkah penting menumbuhkan kecintaan huruf di lingkungan kita. Perpustakaan boleh sederhana, tapi kegiatan di dalamnya menghasilkan manfaat bagi banyak warga!
Untuk guru, saya berpesan satu hal, jadilah inspirator membaca. Jika guru aktif membaca maka muridnya niscaya gemar membaca! Tugas kita ialah menyebabkan dan menumbuhkan kecintaan membaca. Kebiasaan membaca tumbuh lantaran kecintaan bukan lantaran paksaan.
Ketiga, ambil kiprah aktif dalam kegiatan menulis. Membaca dan menulis ialah padu padan roda peradaban. Lewat membaca, insan menjelajah dunia tanpa batas, dengan menulis penjelajahan tersebut akan kita lestarikan.
Maka semua warga sekolah perlu mengaktifkan kegiatan menulis. Aktifkan majalah dinding sekolah, buat resensi atas buku yang warga sekolah baca, dan latih kemampuan menulis baik dengan praktik eksklusif atau melalui diskusi-diskusi sederhana di sekolah.
Upaya-upaya tersebut ialah praktik-praktik sederhana yang bisa kita lakukan. Kita percaya bahwa masingmasing kita punya bermacam-macam praktik baik yang bisa menjadi inspirasi.
Saya minta bagikan dan ceritakan praktik baik keberaksaraan yang sudah ibu dan bapak lakukan. Biarkan praktik baik itu jadi wangsit untuk meningkatkan keberaksaraan di titik-titik penjuru negeri ini!
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan Saya memberikan rasa prihatin kepada masyarakat Indonesia yang tengah mengalami tragedi alam tragedi asap akhir kebakaran hutan di beberapa wilayah dibumi kita tercinta ini. Sesuai pesan Bapak Presiden RI, Kepada para Kepala Daerah yang daerahnya terdampak tragedi asap, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah harus aktif terjun eksklusif ke lapangan memimpin pengendalian kebakaran dan mengatasi efek kabut asap.
Bila kualitas udara sudah melebihi angka toleransi, Presiden RI menginstruksikan kepada Mendikbud semoga menghentikan kegiatan pendidikan dan menyesuaikan standar pendidikan yang terhenti tersebut.
Presiden menggarisbawahi bahwa kebakaran hutan ini ialah persoalan kita bersama. Untuk itu, Presiden mendukung aneka macam bentuk inisiatif gerakan dalam masyarakat untuk terlibat eksklusif dalam memadamkan api maupun dalam mengatasi efek kabut asap.
Ibu dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Akhirnya sebagai epilog sambutan ini, Saya memberikan terima kasih dan apresiasi kepada Gubernur Jawa Barat dan Bupati Karawang serta seluruh masyarakat Jawa Barat yang telah bersedia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Aksara Internasional Tingkat Nasional Tahun 2015.
Saya ucapkan selamat dan penghargaan kepada para Gubernur/Bupati/Walikota yang mendapatkan Anugerah Aksara tahun ini, atas kesepakatan yang tinggi dalam menurunkan angka tuna huruf di wilayahnya. Ucapan selamat juga kepada para pimpinan lembaga/organisasi penyelenggara acara PAUD dan Dikmas yang meraih juara lomba satuan PNF berprestasi, yang telah ikut mensukseskan gerakan nasional percepatan penuntasan tuna huruf dan gerakan berkolaborasi dengan masyarakat.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala upaya dan perjuangan kita dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan harapan kemerdekaan kita.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Karawang, 24 Oktober 2015
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
ANIES BASWEDAN
0 Response to "Sambutan Mendikbud Pada Peringatan Hari Abjad Internasional Ke-50 Tahun 2015"
Post a Comment