Cara Mendengarkan Dan Pembacaan Cerpen Sastra

Cara Mendengarkan dan Pembacaan Cerpen Sastra CARA MENDENGARKAN DAN PEMBACAAN CERPEN SASTRA
Ketika membaca atau mendengarkan cerpen di-bacakan, ada hal-hal penting yang harus diperhatikan. Dalam membacakan cerpen untuk orang lain, hal-hal yang harus diperhatikan yaitu :

  • Bacalah terlebih dahulu cerpen tersebut sehingga anda tahu dan mengerti betul isi ceritanya.
  • Ceritakan cerpen tersebut kepada rekan lain, dengan penceritaan yang tenang, berintonasi seperlunya, dan penuh penghayatan terhadap isi ceritanya.
  • Perhatikan volume bunyi dan kejelasan pengucapan sehingga rekan lain sanggup memahami setiap kata yang anda ucapkan. 

Pendengar yang menyimak sebuah pembacaan cerpen juga harus memperhatikan hal-hal berikut :

  • Konsentrasi dan siapkan alat tulis
  • Catatlah judul cerpen yang dibacakan
  • Selama mendengarkan pembacaan cerpen, catatlah hal-hal penting, yaitu nama tokoh dongeng yang muncul satu persatu, insiden yang dialami, penyelesaian problem dari insiden it, dan simpulan ceritanya.
  • Catatlah pula kesan anda mengenai tabiat tokoh cerita
  • Catat juga kesan anda sehabis mendengarkan insiden dan permasalahan yang sudah diatasi dari cerpen tersebut.

Setelah mengetahui cara-cara pembacaan cerpen di atas, Anda akan mengerti bahwa di dalam cerpen terdapat unsur intrinsik atau unsur yang ada di dalam cerpen. Unsur tersebut di antaranya:

  1. Tema yaitu gagasan yang menjiwai seluruh cerita
  2. Amanat yaitu pesan atau hikmah yang ingin disampaikan penulis untuk difahami pembaca cerita
  3. Plot atau alur yaitu jalan dongeng yang berupa rangkaian urutan insiden yang menjalin cerita
  4. Penokohan dan perwatakan yaitu orang-orang yang ada di dalam dongeng disertai tabiat dan perilakunya.
  5. Setting yaitu latar waktu dan daerah terjadinya insiden di dalam cerita
  6. Dialog yaitu percakapan yang dilakukan tokoh-tokoh dongeng yang menggambarkan watak, tanggapan atas kejadian, dan penggambaran lain yang sanggup menandakan isi cerita.
  7. Sudut pandang yaitu posisi pengarang terhadap cerita, apakah ikut terlibat di dalam dongeng atau hanya memaparkan cerita.


Bacakanlah cerpen di bawah ini !

JUDUL : INGAT MARINDA, AKU JADI HARU
(CERITA PENDEK KARYA : YETTI A.K.A)

Aku mengenang kedua matanya. Merah berair untuk terakhir kali. Ia terliha kelam. Dan saya membacakannya, menyerupai luapan cinta yang kemudian tawar.

* * *

     Ingat Marinda, saya jadi haru.
     Aku mengerti benar tentangnya. Ia pernah mempunyai hidup yang terlalu rimbun. Penuh semangat. Bahagia.
     Bahagia. Ah, setidaknya begitu yang terpancar dari bahasa wajahnya. Siapa pun yang pernah melihatnya akan menyampaikan ia wanita terbahagia dengan garis wajah yang sering kali sumringah dan lesung pipit di pipi yang merona. Juga tentu sepasang mata bening yang dalam telaga.
     Suatu ketika ia berkata, "Hidup tidak kurang dari permainan perasaan. Sementara saya sangat terbiasa mempermainkan banyak hal."
    "Apa kebahagiaan juga permainan?"
    "Tidak selalu untuk orang lain."
    "Untuk mu?"
    "Barangkali."
    "Apa lantaran kau cantik?"
    "Mungkin saja. Siapa yang tidak terpanah dengan tipu kecantikan yang menyambar secara mendadak."
    Marinda benar, kukira. Sebab hampir tiap hari ia menciptakan pesona yang berbeda, dengan sentakan yang tiba-tiba. Dan saya tahu telah berapa cinta yang bersimpuh di sana.
    "Cinta. Aku lebih percaya kalua itu hanya kegilaan," katanya Ia melepas ikatan pada rambutnya yang tebal, sedang matanya tak melepasku.
    "Jangan bermain menyerupai itu nanti terbakar!"
    "Aku ingin sekali mencicipi api itu," ia menantang. "Mungkin saja sanggup membuatku menikmati sensasi lain. Selama ini hidupku datar. Membosankan."
    "Kau tidak akan seberani itu, ketika kau berhadapan dengan kenyataan."
    "Kau mulai mencurigai aku."
    "Kau memandang gampang segala hal."
    "Kau terlalu serius," ia tertawa. "O ya, berdasarkan apa saya harus menangis ketika sedih. Harus berteriak ketika luka. Tidakah cara itu hanya menciptakan malu. Aku sanggup mempermalukan diriku sendiri."
    Lalu memang beberapa kali saya pernah melihatnya menggeliat sakit di bawah tumpukan pengkhianatan yang bersesakan.
    Beberapa lamanya ia tak melaksanakan apa-apa selain berkurung diri di kamar. ia membenci dunia luar yang tampak gelap, menakutkan.
    Ia ingin lari. Membuat rumah kecil yang tenang dalam hatinya. Di rumah itu, Marinda menyembunyikan dirinya. Membuang jauh segala sesuatu yang mengganjal perasaannya dengan menghabiskan berbungkus-bungkus rokok.
    Aku marah, merasa kecewa, bila ia begitu. Marinda terlalu manis untuk terluka dan menyerah.
    Tapi wanita keras kepala sepertinya, hanya berkata, "Aku baik-baik saja."
    "Itu tidak benar. Kau bohong."
    "Ya. Baiklah. Aku sakit. Tapi itu cuilan dari risiko. Aku tidak apa-apa. Rianti. Kau jangan keterlaluan memojokkanku." Aku berhenti marah, berhenti kecewa.
    Setelah itu saya dicubit sepi dan membiarkan persahabatan demikian dingin. Sangat panjang. Hingga ada rindu yang aneh.
    Maka ia mengalah, meminta, "Rianti, saya rindu. Kapan kau tiba lagi padaku dengan sebilah pedang."

* * *

    Ingat Marinda, saya jadi haru.
    Sejak kecil, ia telah membenamkan hidupnya pada dongeng lelaki pematung kayu. Ia merasa sangat yakin, lelali itu meninggalkan sesuatu yang putih dalam jiwanya. Cinta. Hingga, ia akan tampak berseri ketika harus menceritakan si pematung kayu berkali-kali. Lelaki yang tampan, menurutnya. Hal itu ia buktikan dengan menunjukkan selembar gambar kusam yang tersimpan di dompetnya. Bila malam, ia senang menempelkan gambar itu di dinding kamar hingga ia sanggup menatap usang pada sosok lelaki ganteng sebelum matanya mengatup pelan. Saat pagi, ia menyimpan kembali dalam dompet dengan paras muka sedih. Seakan-akan ia tengah melepas suatu kepergian.
    Ia bercerita ihwal lelaki dalam gambar itu.
    Lelaki itu cinta pertama Marind, ketika ia gres duduk di kelas tiga sekolah dasar. Aku lebih percaya kalau ia menciptakan dan berusaha membawaku dalam permainan yang tidak lucu. Api Marinda membuatku tersentak. Dengan mimik yang sungguh-sungguh ia mengaku pria dua puluh lima tahun di atasnya itu menciumnya pertama kali di balik gedung sekolah dan menghadiahinya boneka kayu bermata elok.
    Ia merasa jatuh cinta sehabis insiden yang tak terduga itu. Secara sembunyi-sembunyi ia sering bertemu lelaki pematung kayu. Terkadang lelaki itu membuatnya jadi boneka yang kaku di sudut sebuah bangunan atau dibalik pohon-pohon. Dan ia senang sekali. Apalagi lelaki pematung kayu itu berjanji akan membawa jauh dari wanita bermulut lebar, ibunya. Marinda tidak menyukai wanita itu yang hampir setiap pagi berteriak keras dan menyuruhnya melaksanakan perkerjaan rumah yang menumpuk. Marinda ingin sesekali sanggup ke sekolah bahu-membahu temannya sambil bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan.
    Hanya saja, perpisahan terjadi dan Marinda tidak pernah dibawa pergi, sehabis pertengkaran si pematung kayu dengan wanita bermulut lebar (Ibu Marinda tidak sengaja melihat pematung kayu membawa Marinda ke sebuah bangunan tua). 
    Lelaki itu meninggalkannya. Marinda meraung seharian. Ia bersumpah, akan benar-benar berhenti menyayangi ibunya. Tetapi lelaki itu tidak pernah kembali.
    Marinda retak. Ia salah mengira, cinta selalu putih.
    Waktu pun bergerak dan menyeret Marinda dalam rasa haus pada cinta. Berkali-kali ia sanggup jatu cinta. Tetapi sesaat. Sebaba iaa tidak sanggup mengkhianati cintanya pada lelaki pematung kayu. Ia dihantui oleh perasaan cinta kanak-kanak yang lugu dan polos. 
    Karena itu baginya, kebahagiaan tidak lebih dari permainan sedangkan cinta yaitu kegilaan.

* * * 

    Ingat Marinda, saya jadi haru.
    Banyak sekali saya menyaksikan ia memenggal kebahagiaannya untuk sekian permainan cinta. Kusaksikan Marinda terus berlarian di atas cinta semu dan kegembiraan palsu.
    Sampai, pernah satu kali dari sejumlah permainannya, ia sungguh-sungguh jatuh cinta. Bagaimana ketika itu saya memergokinya tidur-tiduran seharian. Ia menyembunyikan kegelisahaannya dengan membenamkan wajah di sebuah bantal gambar boneka.
    "Kau jatuh cinta" saya menebak
    Tertawa pecah, "Kau gegabah menyimpulkan sesuatu."
    "Aku melihatnya di seluruh tubuhmu. Di setiap pori kulitmu."
    "Kau menciptakan gugup" ia mengangkat mukanya yang pucat.
    "jadi benar."
    "Tidak menyerupai yang kau pikirkan." Ia mengelurkan sebatang rokok dan membakarnya.
    "Siapa dia."
    "Sudah, Rianti. Kau jangan menggodaku."
    Marinda meninggalkanku dengan langkah terburu-buru. Bila gelisah, selain daerah tidur, ia juga menyukai halaman samping yang penuh pohon bambu. Bisa berjam-jam ia duduk di sana. Aku membiarkannya.
    Hingga pada kesempatan lain, ketika malam hari dan bulan hampir purnama, ia berbisik pelan sekali. "Jika matanya serasa menembus dalam perasaanku, apa saya jatuh cinta?"
    "Tidak salah lagi. Benar. Kau jatuh cinta," saya bersorak. Beberapa bintang tampak menari dan berjatuhan di mataku. Aku merasa sedang merayakan sesuatu yang luar biasa.
    Ia tersenyum kecil, Sedikit saja. Berkali-kali ia menarik nafas berat.
    Kukatakan. "Kau harus menjaga perasaan itu."
    Ia menggenggam tanganku bersahabat berkata, "Apa mungkin saya masih sanggup jatuh cinta? Ini diluar dugaanku."
    Aku merasa ia amat tertekan.

* * *

    Ingat Marinda, saya jadi haru.
    Sebab, suatu hari tanpa disangka, ia mengabarkan padaku akan menikah dengan lelaki lain, bukan seorang yang ia cintai. Sambil menahan kesedihannya, ia bercerita bahwa hidupnya seudah ditakdirkan bertemu permainan demi permainan. Lelaki yang ia cintai telah meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain yang juga tanpa cinta. Dan ia pun dihadapkan pada kenyataan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak membuatnya sanggup tersenyum.
    Aku mengihiburnya. Kuceritakan pula ihwal ayah dan ibuku yang walanya menikah tanpa jatuh cinta lebih dulu. Namun sehabis hidup bersama, semua mengalir saja. Ia tertawa sinis, katanya ibuku mungkin wanita yang sanggup mengalah dan sabar, sementara ia merasa bukan cuilan dari itu. Sajak kecil, ia telah berguru jadi pemberontak. Aku kita ia benar. Lalu kusarankan padanya untuk membatalkan pernikahannya.
    Ia diam. Seolah-olah ada beban yang berat.
    "Kau masih sanggup menentukan untuk tidak menikah dengannya" ujarku.
    "Kukira tidak. Aku benci ibuku. Tapi saya tidak sanggup mempermalukannya."
    "Kau sanggup membicarakannya baik-baik."
    "Tidak semudah yang kau pikirkan."
    "Kau tidak akan senang bila kau memaksakan diri."
    "Aku tidak berani."
    "Aku tidak mengenalmu yang menyerupai ini."
    "Aku tidak sanggup melaksanakan apa-apa."
    Aku menemukan ia yang benar-benar berbeda. Kami membisu dalam waktu yang serasa terpotong.
    Dimataku Marinda sangat menyedihkan.
    Semalaman, ia tidak sanggup tidur. Ia mengajakku menikmati malam perpisahan itu dengan bercerita kembali ihwal impian kami yang ingin jadi penyair. (Hahahaha! Kami tertawa keras ketika mengikrarkan komitmen itu dengan wajah sungguh merah, alasannya kami ingin menggenggam dunia). Dan malam itu, kami juga kembali tertawa dengan sudut mata tergenang-genang butiran air mata. Marinda menarik janjinya dan melupakan ihwal impian itu. ia mengaku tidak akan punya banyak waktu untuk hal lain sehabis pernikahannya Ia akan disibukan oleh urusan rumah tangga.
    Aku merasa sangat sendiri.
    Kuantar Marinda menuju pernikahannya itu. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang menusukku. Sedih rasanya dihadapkan pada kenyataan harus melepas seorang sahabat yang hari-harinya hampir menjadi miliku dan hari-hariku menjadi milikmu.

* * *

    Ingat Marinda, saya jadi haru.
    Belum enam bulan ia menikah, saya menerima kabar yang memilukan. Ia tidak senang dan ingin pergi dari lelaki itu dengan membawa jabang bayi dalam perutnya yang masih berumur tiga bulan. Ia benar-benar ingin berpisah dari lelaku itu lantaran menurutnya ia tidak sanggup lagi untuk berguru mencintai.
    "Sungguh. Terlalu banyak yang salah dalam hidupku," katanya lewat telepon.
    "Kau harus sabar. jangan mengambil keputusan apa-apa selagi kau marah," saya mengingatkannya.
    "Tapi saya sakit, Rianti. Sakit sekali."
    "Kau akan melewati semua itu dengan baik-baik saja." Aku membujuknya.
    Ia menutup telepon mendadak. Aku mengerti, ia kecewa dengan sikapku. Tentunya ia mengharapkan saya membelanya dan memberinya jalan untuk meninggalkan lelaki itu.
    Sejak itu, ia jarang menghubungiku.
    Hingga suatu ketika, saya dikejutkan lagi oleh kedatangannya yang tiba-tiba. Ia menangis dan menandakan hatinya yang pecah. 
    Aku memeluknya. Kubisikan, saya akan selalu ada untuknya. Kuminta ia tinggal saja bersamaku untuk sementara, sebelum tetapkan benar-benar berpisah dari lelaki yang telah menanam cinta di tubuhnya.
    Ia masih terisak. Ah. Marinda manis yang malang. Aku selalu membayangkan wanita manis akan menemukan keberuntungan yang baik dariku.
    Tapi kini, lihatlah, di matanya yang berair tumbuh sebatang pohon, kering tak berdaun dan akar-akar menjalar menembus kelopak mata. Pohon itu dalam sekejap menyambar Marinda.
    Aku berteriak, tertahan. Marinda tertelan.
    Ingat Marinda, saya jadi haru.
    Sejak ia ditelan pohon, saya sering merasa ia manatapku dengan mata boneka yang bulat. Mata yang ingin menyelam dalam, dikesedihan tanpa tepi.

Padang, 2005

(Dari: Media Indonesia, 19 Juni 2005)

* * *

Jawablah pertanyaan berikut sesuai dengan isi dongeng pendek  yang telah di bacakan di atas!

  1. Apa tema cerpen di atas
  2. Amanat apa yang sanggup kau tangkap dari cerpen tersebut?
  3. Bagaimana plot atau alurnya?
  4. Bagaimana penokohan dan perwatakan orang-oang yang ada di dalam dongeng pendek itu?
  5. Jelaskan settingnya!
  6. Apakah berdasarkan Anda obrolan yang ada di dalam cerpen sudah menggambarkan watak, isi, dan segala hal yang sesuai untuk cerpen tersebut?
  7. Bagaimana sudut pandang cerpen di atas!


Jika kau telah selesai menjawab pertanyaan di atas, langkah berikutnya ; 

Bandingkan tanggapan Anda dengan tanggapan berikut!
1. Jangan bermain-main atau gegabah dalam tetapkan dengan masa depanmu dan kebahagiaanmu, lantaran masa depan dan kebahagiaanmu ada di tanganmu sendiri.

2. Bahwa dalam menjalani hidup harus mau menghadapi kenyataan dan realita, tidak terus-menerus karam dalam keindahan masa kemudian yang mustahil kembali, dan khayalan masa depan yang tidak tercapai menyerupai halnya Marinda, lantaran hal menyerupai itu akan menghancurkan masa depan Anda.

3. Pada cuilan awal dongeng berjalan maju, kemudian dongeng mengarah ke masa kemudian atau beralur mundur ke masa kecil tokoh cerita, kemudian dongeng mengalir maju mengikuti nasib tokoh cerita.

4. Tokoh utama: Marinda
Wataknya: terlalu karam dalam kenangan masa kemudian dan mengkhayalkan masa depan sulit tercapai sehingga menghancurkan masa-masa indah hidupnya yang seharusnya dirasakannya.
Tokoh lain: Aku (Rianti), sahabat Marinda Wataknya: selalu berusaha menawarkan pandangan realitas utnuk kebahagiaanya.
Tokoh lain: ibunya dan pematung kayu
wataknya: ibunya seorang yang banyak bicara dan menyuruh, pematung kayu, seorang yang telah melaksanakan pelecehan terhadap masa kecilnya dengan menyeretnya menjadi gadis cukup umur dalam cinta yang bergelora, namun Marinda tidak menyadari dan menduga perlakuan yang didapatkannya merupakan bentuk cinta yang putih dan setia.

5. Setting waktu berpindah-pindah dari masa kini, kemasa kecil, kemudian masa-masa di kala ia murung di malam hari, pagi hari, dan di kala senang dalam pesta pernikahannya.
Adapun setting/ latar daerah tidak terlalu berpusat di satu tempat. Latar daerah mengalir sesuai dengan dongeng dan kebutuhan pengembangan cerita.

6. Dialog sudah sesuai untuk menggambarkan tabiat tokoh-tokoh ceritanya.

7. Pengarang menempatkan dirinya sebagai orang kedua atau sahabat dari tokoh cerita.  


Sumber: Buku Modul Bahasa Indonesia Kesetaraan Paket C Kelas X tahun 2009, dengan  penambahan dan perubahan seperlunya.
  
    

0 Response to "Cara Mendengarkan Dan Pembacaan Cerpen Sastra"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel