Contoh Makalah Pikiran Sehat Diksi Dalam Karangan Deskripsi Siswa

 ialah sarana bernalar dan alat berekpresian penalaran CONTOH MAKALAH PENALARAN DIKSI DALAM KARANGAN DESKRIPSI SISWA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bahasa  ialah sarana bernalar dan alat berekpresian penalaran. Seseorang berbahasa kan mencerminkan bagaimana orang itu bernalar. Dalam menulis misalnya, sebuah goresan pena yang baik tidak sekedar  ditunjukkan oleh kelincahan dan kekayaan bahasa yang dimiliki penulisnya, tetapi juga oleh kualitas bernalar.
Penalaran ialah (reasoning, jalan pikiran) ialah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan materi bukti fakta, petunjuk, evidensi ataupun sesuatu yang dianggap materi bukti fakta, atau petunjuk, menuju pada suatu kesimpulan . ( pengetahuan dan penalaran ). Bahan pengambilan kesimpulan itu sanggup berupa fakta, imformasi, pengalaman, atau pendapat para mahir (autoritas).

Secara umum  penalaran atau pengambilan kesimpulan sanggup dilakukan secara induktif dan deduktif. Penalaran induktif ialah suatu proses berpikir  yang bertolak dari hal-hal khusus  kenuju suatu yang umum. Penalaran deduktif ialah suatu proses berpikir yang bertolak dari sesuatu yang umum menuju hal-hal yang khusus . Atau penerapan sesuatu yang umum pada peristiwa  yang khusus untuk mencapai sebuah kesimpulan. Dengan alasan ibarat itulah penalaran sebagai suatu keterampilan, perlu dilatihkan dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa , khususnya menulis deskripsi.
Menulis deskripsi pada hakikatnya merupakan perjuangan untuk menggambarkan dengan kata-kata  wujud atau sifat lahiriah dari suatu objek, dan berusaha memindahkan kesan-kesan hasil pengamatan dan perasaannya kepada pembaca, dengan membeberkan sifat dan semua perincian yang ada pada objek.
Melukiskan objek itu sejelas-jelasnya sehingga objek itu betul-betul kelihatan hidup dan sanggup menumbuhkan kesan atau daya hayal  pada pembaca. Tujuan penulisan deskripsi yaitu menyajikan pengalaman yang seperti pembaca menglami sendiri, melihat, mendengar dan mencicipi apa yang dilukiskan penulis.

Menggarap sebuah deskripsi yang baik, dituntut dua hal, pertama, kesanggupan berbahasa dari seorang penulis, yang kaya akan nuansa-nuansa dan bentuk; kedua kecermatan pengamatan dan ketelitian penyelidikan. Dengan kedua persyaratan tersebut seorang penulis sanggup meggambarkan objeknya dalam rangkaian kata-kata yang penuh arti dan tenaga, sehingga mereka yang membaca gambaran tadi sanggup menerimanya  seperti mereka sendiri melihatnya. Pilihan kata (diksi) yang tepat sanggup melahirkan gambaran yang hidup dan segar dalam imajinasi pembaca. Perbedaan-perbedaan yang sangat kecil dan halus dari apa yang dilihatnya denga mata, harus diwakili olaeh kata-kata yang khusus. Meskipun demikian semua perbedaan yang mendetail yang diserapnya melalui panca inderanya itu harus bahu-membahu membentuk kesatuan yang kompak tentang  objek tadi.
Deskripsi berusaha untuk menampilkan objek garapannya di depan mata pembaca seperti diperkenalkan kembali dengan pemandangan-pemandangan dan aktivitas-aktivitas yang pernah dialaminya sendiri. Penulis memperluas pengalaman pembaca dengan hal-hal yang belum dikenalnya.

Menulis pada hakikatnya merupakan pembentukan kebiasaan untuk menalar dan berbahasa secara runtut, terang dan logis. Kemampuan menulis akan didasari oleh tata logika yang baik. Implikasinya suatu goresan pena yang baik akan mencerminkan cara berpikir yang baik . Indikatornya terlihat  melalui penggunaan bahasa yang jernih, lugas, sistematis dan logis.
Dengan alasan ibarat itulah penalaran sebagai suatu keterampilan berbahasa sangat diharapkan dalam menulis dan memaparkan pikiran dan perasaan dalam wujud sebuah karangan atau tulisan, sehingga menjadi wacana  yang sanggup dikelompokkan menjadi sebuah karangan deskripsi.

Melalui deskripsi penulis memindahkan kesan-kesan hasil pengamatan dan perasaanya kepada pembaca. Dia gambarkan sifat, ciri serta rincian wujud yang terdapat pada objek yang dilukiskannya. Sesuatu yang dideskripsikan tidak hanya terbatas  pada apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasa dan diraba, tetapi juga sanggup dirasa oleh hati dan pikiran ibarat rasa takut, cemas, tegang, jijik, kasih, dan haru.

Dalam menggarap deskripsi  yang baik kita dituntut tiga hal :
1.Kesanggupan berbahasa penulis yang mempunyai kekayaan nuansa dan bentuk
2.Kecermatan pengamatan dan keluasan pengetahuan wacana sifat, cirri, dan wujud objek yang dideskripsikan .
3.Kemampuan menentukan detail khas yang dapt  menunjang ketepatan dan keterhidupan pemerian.

Ilmu berbahasa kita sanggup tidak lepas dari unsur penalaran semoga maksud atau pesan kita dapat  diterima oleh orang lain. Penggunaan logika dengan bahasa yang baik dan benar haruslah dengan menggunakan pilihan kata ( diksi ) yang tepat.
Dalam kegiatan berbahasa, kata mempunyai peranan yang sangat penting. Kata atau rangkaian kata bukan sekedar rangkaian suara atau huruf.

Sebagai kanal pemuat pesan atau makna kata yang digunakan harus dipilih dengan cermat.  Berpikir mengenai keserasian kata, nuansa makna yang dikandungnya, serta efeknya bagi pembaca goresan pena kita. Kata mewakili hal-hal yang ingin disampaikan , maka pemilihan dan penataan kata harus memungkinkan tersampaikannya pesan itu secara efektif.

Tujuan yang baik tersusun dari kata-kata yang baik harmonis dengan problem yang dikemukakan serta tingkat kemampuan pembacanya. Kekeliruan menentukan dan menggunakan kata akan mengkibatkan ketergangguan  atau bahkan ketidaksampaian pesan.
Memilih kata memang bukan pekerjaan yang ringan. Kita perlu mempunyai perbendaharaan kata yang banyak, serta intuisi berbahasa yang tajam. Kata-kata yang dipilih tidak hanya sekedar sanggup mewakili  secara tepat apa yang ingin disampaikan, tetapi juga harus sanggup dipahami dan diterima oleh pembaca goresan pena kita.

Memilih kata menyangkut dua hal, yaitu ketepatan dan kesesuaian ketepatan artinya kata-kata yang dipilih harus sanggup menggambarkan secara cermat apa yang ingin di dikemukakan oleh penulis. Kesesuaian atau kecocokan maksudnya, kata-kata yang digunakan harus harmonis dengan konteks dan keadaan pembacanya.
Ketergantungan pesan yang disampaikan dipergunakan oleh pemaknaan yang berbeda terhadap suatu kata. Perbedaan itu disebabkan oleh pengalaman, perasaan dan pengetahuan seseorang. Implikasinya kita sebagai penulis berkewajiban untuk menghilangkan atau meminimalkan kemungkinan timbulnya gangguan pemaknaan pembaca atau goresan pena yang disajikan.

Banyak mahir komunikasi yang menyatakan bahwa keberhasilan seorang komunikator-penulis dan pembicara sangat dipengaruhi oleh kemampuannya  memahami kadaan pembaca serta  mencicipi ketersampaian pesan yang dikemukakannya.

Untuk hingga pada ketergantungan  yang ibarat itu, sangat diharapkan hal-hal sebagai berikut :
1.Memiliki kekayaan perbendaharaan kata yang memadai, sehingga dapt mengemukakan gagasan atau perasaan dengan bervariasi dan menarik. Keterbatasan kosakata  biasanya berdampak pada pembatasan sumber daya untuk mengungkapkan dirinya dalam bentuk bahasa.
2.Memiliki kepekaan bahasa (intuisi atau rasa bahasa). Atas nuansa makna setiap kata serta dampaknya bagi pembaca . Kepekaan berbahasa ibarat itu memungkinkan penulis menentukan dan menggunakan kata dengan cermat . Bagaimanapun tinginya kesinoniman antar kata, tidak pernah ada sinonim otoriter yang mutlak sama. Perbedaan  itu niscaya ada kendati hanya sanggup dirasakan oleh intuisi kebahasaan kita.

Cara yang sanggup ditempuh untuk memperoleh kemampuan ibarat itu dengan menggunakan cara sebagai berikut :
1.Menyimak banyak sekali jenis tuturan dan membaca banyak sekali jenis goresan pena sebanyak-banyaknya. Upaya ini sanggup memperluas pengetahuan kosakata  dan menempatkannya dalam konteks berbahasa yang sesungguhnya,
2.Menggunakan kata-kata yang diperoleh dalam konteks berbahasa mulut atau tulis yang sesuai. Upaya ini akan mengaktifkan kosakata yang telah kita miliki.
3.Menggunakan ensikloedi atau kamus sebagai alat Bantu pengenalan dan pemahaman kata atau istilah yang gres ditemukan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Pengertian Aspek
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 53) yang dimaksud dengan aspek ialah tanda atau sudut pandang. Mengenai pengertian aspek ini, Dewi kumala (1993 : 14) menjelaskan aspek dari bahasa Inggris “Aspect” berarti “segi, pendekatan, dan pandangan.”  Dengan demikian, aspek berarti segi atau sudut atau suatu titik pandang tertentu. Kaprikornus aspek digunakan untuk memandang suatu goresan pena atau karya secara terang dan terarah. Kejelasan dan terarahnya ini dilakukan dalam rangka untuk menangkap data-data dan ide-ide dalam goresan pena atau karya tersebut secara substansial.
Jadi aspek dalam penalaran di sini ialah segala segi  (sudut Pandang) dengan pendekatan tertentu berupa penalaran diksi dalam karangan deskripsi tersebut. Yang diamati dari dari data-data dalam karangan siswa secara keseluruhan.


2.2  Penalaran

2.2.1  Pengertian Penalaran

Dalam memahami suatu konsep atau pemikiran diharapkan adanya proses bernalar yang harus dilakukan sesuai dengan keperluan kita. Bernalar atau melaksanakan penalaran berkaitan dengan proses berpikir yang menghubungkan seperangkat komponen bahasa itu sendiri. Mengenai pengertian penalaran ini,
Keraf (1982), Moeliono (1989) dalam Sabarti Akhadiah (1997 : 2.6) mendefinisikan penalaran (reasoning, jalan pikiran) ialah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan materi bukti fakta, petunjuk, evidensi ataupun sesuatu yang dianggap materi bukti fakta, atau petunjuk, menuju pada suatu kesimpulan. Berdasarkan pandangan Keraf dan Moeliono tersebut Sabarti Akhadiah juga berkesimpulan bahwa penalatan itu ialah proses berfikir yang sistematik dan logis untuk memperoleh sebuah kesimpulan (pengetahuan atau keyakinan).
Secara hakikatnya penalaran itu selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah diketahui, mustahil menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang tersedia yang kita pergunakan sebagai titik tolak untuk menalar. Di sini penalaran sanggup juga didefinisikan sebagai “berfikir konklusif”. :berfikir untuk menarik kesimpulan”, (Sumaryono, 1999 : 76).
Jadi penalaran itu ialah suatu peroses berfikir dalam kegiatan berbahasa dengan mengaitkan bahan-bahan untuk keperluan berbahasa tersebut. hal ini sanggup dilakukan baik dalam bahasa mulut maupun goresan pena ibarat yang terdapat dalam karangan deskripsi.



2.2.2   Penalaran dalam Karangan

Lapangan penerapan logika kata  luas sekali. Bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan saja, tetapi seluruh bidang kehidupan. Sebab, sebagai mahluk yang berakal, kita harus menggunakan  kebijaksanaan sehat disegala bidang kehidupan.  Sebab kita harus mendasarkan tindakan-tindakan kita atas pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Bangsa kita sedang mengalami suatu masa peralihan yang begitu cepat. Struktur masyarakat lama telah berubah, dan sering memang mutlak untuk dikaji dan diuji kembali ketepatan serta relevansinya. Dalam menghadapi problem yang banyak dan sulit ini sangatlah dibutuhkan orang yang cakap berpikir, menalar sendiri, dengan obyektif, rasional dan kritis, yang bisa membedakan yang benar dan yang salah, dan mendasarkan tindakan atas alasan-alasan yang tepat, bukan atas emosi atau prasangka.
Dalam prakteknya, proses penulisan tidak sanggup dipisahkan dari proses pemikiran atau penalaran. Tulisan ialah perwujudan hasil pemikiran atau penalaran. Tulisan yang kacau mencerminkan pemikiran atau penalaran yang kacau. Karena itu pengajaran keterampilan menulis pada hakikatnya ialah pembiasaan untuk berpikir atau bernalar secara tertib dalam bahasa yang tertib pula.

Proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan proses berpikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengatahuan. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah, atau tidak ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu sanggup dibedakan sebagai penalaran induktif dan deduktif . Penalaran ilmiah meliputi ke dua proses penalaran itu. Secara lebih lengkap penalaran induktif dan deduktif ini sanggup dilihat dalam uraian berikut :
1. Penalaran  Induktif
Penalaran induktif ialah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau perilaku yang berlaku umum berdasarkan  atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Penalaran induktif mungkin merupakan generalisasi, analogi atau  perhubungan kausal. Generalisasi ialah proses penalaran berdasarkan pengamatan atas sejumlah tanda-tanda dengan sifat-sifat tertentu mengenai semua atau sebagian dari tanda-tanda serupa itu.


2. Penalaran Deduktif

Deduktif dimulai dengan suatu premis  yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan itu  merupakan implikasi  dari pernyataan dasarnya. Artinya apa yang dikemukakan di dalam kesimpulan secara tersirat telah ada di dalam pernyataan itu. Kaprikornus sebenarnya, proses deduktif bukan menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan mengahasilkan pernyataan atau kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.

Suatu goresan pena sebagai hasil  proses deduktif, induktif, atau adonan keduanya. Suatu goresan pena yang bersifat deduktif dibuka dengan suatu pernyataan umum, berupa kaidah, peraturan teori, atau pernyataan umum lainya. Selanjutnya, pernyataan-pernyataan atau rincian-rincian yang bersifat khusus. Sebaliknya, suatu goresan pena yang bersifat induktif dimulai dengan rincian-rinciannya dan diakhiri dengan suatu kesimpulan umum atau generalisasi.

Dalam prakteknya proses deduktif dan induktif itu diwujudkan dalam satuan-satuan goresan pena yang merupakan paragraf. Di dalam paragraf suatu pernyataan  umum membentuk kalimat utama yang mengandung gagasan utama yang dikembangkan dalam paragraf itu. Dengan demikian, ada paragraf deduktif dengan kalimat utama pada awal paragraf, paragraf induktif dengan kalimat utama pada selesai paragraf, dan ada pula paragraf dengan kalimat utama pada awal dan akhir.


2.2.3  Salah nalar

Kita sering menemukan kesalahan bernalar, baik ucapan maupun tulisan. Hanya saja mungkin kita tidak sadari, atau kalaupun menyadarinya kita kurang sanggup memperlihatkan alasannya. Sebenarnya, penyebab kekeliruan penalaran itu banyak. Salah satu di antaranya disebabkan oleh kesalahan dalam menafsirkan atau menarik kesimpulan yang terjadi lantaran emosi ketidaktahuan, kecerobohan, atau  kesengajaan  untuk keperluan tertentu.

2.2.4  Hubungan Penalaran dengan Pilihan Kata

Berpikir dengan terang dan tepat menuntut pemakaian kata-kata yang tepat; sebaliknya pemakaian kata – kata yang tepat  sangat menolong kita untuk berpikir dengan lurus. Bahasa ialah laksana  alat pemikiran yang kalau sungguh-sungguh kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, sangat membantu untuk memperoleh  kecakapan berpikir yang lurus. Berpikir dengan lurus menuntut pemakaian kata-kata yang  tepat. Maka dalam perjuangan menyidik asas-asas pemikiran yang lurus, baik kita mulai dengan unsur-unsur atau bagian-bagiannya yang pertama,yaitu pengertian-pengertian dan pernyataannya dalam kata-kata.
Berpikir sebagai berbicara dengan diri sendiri di dalam batin. Bila orang berbicara menggunakan kata-kata, maka orang berpikir dengan menggunakan konsep atau pengertian-pengertian (hal tersebut tidak perlu diucapkan dengan mulut atau tertulis, meskipun hal itu sanggup membantu untuk merumuskan jalan pikiran dengan lebih terang dan teliti).
Berpikir itu berlangsung di dalam batin. Orang lain tidak sanggup melihat apa yang sedang saya pikirkan. Akan tetapi, bila apa yang saya pikirkan itu hendaknya saya beri tahukan kepada orang lain, maka isi pikiran itu harus saya nyatakan, saya lahirkan, saya ungkapkan. Untuk menyatakan isi pikiran itu, ada banyak sekali jalan, yaitu dengan tanda atau isyarat, atau dengan kata-kata. Bahasa baik mulut atau tertulis ialah alat untuk menyatakan isi pikiran.
Diksi ialah pilihan kata. Maksudnya kita menentukan kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata yang merupakan unsure yang sangat penting, terutama dalam dunia karang -  mengarang maupun tutur menutur.
Seluk beluk pilihan kata merupakan suatu yang fundamental dalam karang mengarang. Ketepatan dalam menentukan kata akan menentukan hingga tidaknya kandungan makna atau maksud yang ada dalam kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat sesuatu yang diinginkan, baik mulut maupun tertulis. Diksi yang baik akan memungkinkan pengarang menyatakan pikiran dan perasaannya dallam suatu cara yang sesuai dengan maksudnya.
Dalam menentukan kata ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu: kelaziman, ketepatan, kesesuaian dan keefekkan.

2.2.5  Hubungan Penalaran dengan Denotasi dan Konotasi

Keefektifan berarti semacam dampak atau imbas pemakaian suatu kata dalam kalimat. Hal ini berkaitan dengan nilai rasa suatu kata.   
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa  yang ingin disampaikan, baik mulut atau tertulis. Di samping itu pemilihan kata harus pula sesuai dengan situasi dan tempat pengguna kata itu.
Dari segi maknanya, kita akan berhadapan dengan bermacam-macam makna. Ragam makna  apa yang harus kita gunakan, tergantung pada konteks dikala itu. Misalnya dalam menulis karya ilmiah, tentunya kita harus menggunakan  kata-kata yang bermakna denotasi bukan konotasi. Sedangkan  dalam penulisan sastra, kita lebih banyak bekerjasama dengan makna konotasi, ideom atau makna kias.

Makna denotasi sering disebut makna dasar, makna asli,atau makna pusat. Dan makna konotasi disebut juga sebagai makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna sentra untuk menyebut makna   konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya makna pemanis yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.

Seringkali sebuah kata menjadi merosot nilai rasanya akhir ulah para anggota masyarakatnya dalam menggunakan kata itu yang tidak sesuai dengan makna denotasi atau makna dasar yang sebenarnya. Umpamanya kata kebijaksanaan yang makna denotasinya ialah kelakuan atau tindakan arif dalam menghadapi suatu masalah menjadi negatif konotasinya akhir kasus-kasus berikut yang terjadi dalam masyarakat. Seorang pengemudi kendaraan bermotor yang ditangkap lantaran melanggar kemudian lintas minta ”kebijaksanaan” kepada petugas semoga tidak diperkarakan. Minta kepada  si pengemudi  semoga juga memberikan  “ kebijaksanaan” kepadanya. Seorang orang bau tanah murid yang anaknya tidak naik kelas tiba kepada kepala sekolah mohon “ kebijaksanaan semoga anaknya bisa naik kelas; dan untuk itu ia pun bersedia  memberi  “kebijaksanaan”  kepada bapak kepala sekolah.
Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akhir digunakannya acuan kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan  sebagai lambang sesuatu yang positif, maka akan bernilai rasa positif. Jika digunakan sebagai sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif.

Makna konotasi sebuah kata sanggup berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan satu kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma evaluasi masyarakat tersebut.   
Perbedaan makna denotasi dan konotasi  didasarkan pada ada atau tidaknya nilai rasa. Sebuah kata terutama, yang disebut kata penuh mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotasi apabila kata itu  mempunyai nilai rasa  baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa maka dikatakan tidak mempunyai konotasi. Tetapi sanggup juga disebut berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering juga disebut makna denatasional, makna konseptual, dan maka kongnitif lantaran dilihat dari sudut yang lain). Pada dasarnya sama dengan makna referensial alasannya makna denotatif ini lazim diberi klarifikasi sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi. Menurut penglihatan,  penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Kaprikornus makna dedotatif ini menyangkut imformasi-imformasi faktual objektif. Makna denotasi sering disebut  makna sebenarnya.
Telaan sinonim memberi kesempatan yang baik bagi untuk mengajarkan konsep-konsep yang ada kaitannya dengan aspek-aspek denotatif dalam pengembangan kosa kata.

Sebagai lawan dari  denotasi, maka konotasi suatu kata merupakan  bundar gagasan-gagasan dan perasaan yang melingkungi kata-kata tersebut serta emosi-emosi yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, konotasi ialah pikiran dan perasaan yang terkandung dalam suatu kata.Kita sanggup melihat dan mencicipi perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam sinonim-sinonim bagi suatu kata tertentu.

Disamping mempunyai kecermatan pengamatan, penulis harus mempunyai pula kemampuan berbahasa, kemampuan yang memungkinkannya untuk mempergunakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan dengan seteliti-telitinya apa yang dikehendakinya. Bunyi yang nyaring bagi seorang penulis deskripsi dihentikan menjadi suara yang nyaring saja, tetapi harus diperinci dalam banyak sekali bentuk yang berlainan dengan warna arti dan nilai rasa yang khusus. Ia harus sanggup membedakan suara nyaring manakah yang harus digambarkan dengan kata dentum dan suara manakan yang dilukiskan dengan kata degam, degar, gedebuk, gemericik, gerdam, pekik, lolong, raung, ratap, jerit, teriak dan sebagainya. Keahliah menentukan bentuk-bentuk yang tepat ini merupakan problem pilihan kata. Pilihan kata yang dimaksud  di atas ialah pilihan kata berdasarkan sinonim.
Bahasa itu hidup dan terus berkembang, maka sudah selayaknya setiap orang khususnya seorang penulis, harus selalu mengikuti perkembangan bahasa itu sendiri. Bagaimana kata-kata itu tumbuh, bagaimana makna kata itu berkembang dan berubah, bagaimana perkembangan dan perubahan kata-kata itu sanggup mengakibatkan sebuah bahasa berubah dan berkembang.
 
2.2.6  Hubungan   Penalaran   dengan   Sinonim

Adalah suatu kehilapan yang besar menganggap untuk mengganggap bahwa persoalan  pilihan kata ialah problem yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari lantaran akan terjadi secara masuk akal pada setiap manusia. Dalam kehidupan sehari-hari kita berjumpa dengan orang-orang  yang sulit sekali mengungkapkan maksud dan sangat miskin dengan variasi bahasanya. Tetapi kita juga berjumpa dengan orang–orang yang sangat boros dan glamor mengobralkan perbendaharaan katanya, namun tidak ada sisi yang tersirat di baliknya. Untuk tidak hingga tersesat ke dalam kedua ekstrem itu, tiap angota masyarakat harus mengetahui bagaimana pentingnya peranan kata-kata dalam komunikasi sehari-hari.

Disamping mempunyai kecermatan pengamatan, penulis harus mempunyai pula kemampuan berbahasa, kemampuan yang memungkinkannya untuk mempergunakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan dengan seteliti-telitinya apa yang dikehendakinya. Bunyi yang nyaring bagi seorang penulis deskripsi dihentikan menjadi suara yang nyaring saja, tetapi harus diperinci dalam banyak sekali bentuk yang berlainan dengan warna arti dan nilai rasa yang khusus. Ia harus sanggup membedakan suara nyaring manakah yang harus digambarkan dengan kata dentum dan suara manakan yang dilukiskan dengan kata degam, degar, gedebuk, gemericik, gerdam, pekik, lolong, raung, ratap, jerit, teriak dan sebagainya. Keahliah menentukan bentuk-bentuk yang tepat ini merupakan problem pilihan kata. Pilihan kata yang dimaksud  di atas ialah pilihan kata berdasarkan sinonim.
Bahasa itu hidup dan terus berkembang, maka sudah selayaknya setiap orang khususnya seorang penulis, harus selalu mengikuti perkembangan bahasa itu sendiri. Bagaimana kata-kata itu tumbuh, bagaimana makna kata itu berkembang dan berubah, bagaimana perkembangan dan perubahan kata-kata itu sanggup mengakibatkan sebuah bahasa berubah dan berkembang.
Sinonim ialah kata-kata yang mengandung makna sentra yang sama tetapi berbeda dalam nilai rasa. Pada dasarnya, sinonim ialah penggantian kata-kata. Sinonim memberi kesempatan untuk mengekpresikan gagasan yang sama dalam banyak sekali cara, walaupun konteks, latar, suasana hati dan nada sang pembicara atau sang penulis sebagai suatu keseluruhan sanggup saja mengendalikan pemilihan sinonim yang akan dipergunakan.

Sinonim tidak hanya menolong kita untuk memberikan gagasan-gagasan umum tetapi juga membantu untuk membuat perbedaan-perbedaan yang tajam dan tepat antara makna kata-kata.

Harus kita sadari benar-benar membuat perbedaan yang tajam dan tepat tidaklah gampang. Kita sanggup membedakan perbedaan kata dengan tepat dengan cara :
1.Memperhatikan kata-kata yang termasuk ke dalam kelas atau kelompok tertentu.
2.Memakainya sesuai dengan situasi.
Bahasa tumbuh lantaran kebutuhan si pemakai bahasa itu. Makin banyak kata yang kita kuasai makin kaya perbendaharaan bahasa kita.Hal itu sangat perlu lantaran kayanya perbendaharaan bahasa kita, simpel kita mengeluarkan pikiran dan impian kita dengan bahasa. Sinonim kata terutama sangat dibutuhkan oleh orang  yang sering mengarang. Apabila dalam karangan  kita, kita gunakan sepatah kata berulang-ulang, maka bahasa kita tawar, cuek tidak menarik.  Tampak  kemiskinan kita akan kosa kata. Itu sebabnya kita gunakan sinonim supaya ada variasi, ada pergantian yang membuat  lukisan kita hidup.
Senang    : sukariang    gembira
 gembira    bangga ria
  ria        suka hati
  ceria        lega
  suka cita    puas
  suka ria     enak
  riang        senang

Dengan cara ini para siswa memperoleh suatu perbendaharaan umum serta sarana yang ampuh untuk mengingat kata-kata.
Proses mengklsifikasi yang kita jumpai dalam kamus atau ensiklopedia memberi kesempatan kepada para siswa untuk melihat secara sepintas bila aneka ragam sinonim  yang dipergunakan untuk mengekspresikan suatu gagasan tertentu. Hal ini justru sanggup merupakan suatu pengantar yang efektif dan juga menjadi suatu  motivasi yang besar lengan berkuasa bagi telaah kamus.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam  mengenai sinonim:
1.Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, batu, kuning tidak mempunyai sinonim.
2.Ada kata yang bersinonim pada bentuk dasar, tetapi tidak dalam bentuk jadian. Misalnya kata benar  bersinonim dengan kata betul. Tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan.
3.Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi, mempunyai sinonim dalam bentuk jadian. Misalnya kata jamur  tidak mempunyai sinonim, tetapi kata menjemur ada  sinonimnya, yaitu mengeringkan; berjemur bersinonim berpanas.
4.tidak menentukan     Ada kata-kata dalam arti yang sebenarnya  tidak mempunyai  sinonim, tetapi dalam arti kiasan  justru mempunyai sinonim. Misalnya  kata hitam dalam makna bekerjsama tidak ada sinonimnya, tapi dalam arti kiasan ada sinonimnya, yaitu gelap, mesum, buruk, jahat.


2.2.7  Hubungan Penalaran dengan Kata-kata umum dan Khusus 
Kata dinilai  mempunyai ketepatan bila digunakan dalam situasi dan tempat pemakaiannya. Pilihan kata diadaptasi dengan jenis dan isi karangan. Kata-kata yang mengarah bias digunakan dalam karya sastra. Ketepatan pemakaian suatu kata berarti ketepatan penempatan dalam suatu karangan. Dari situ muncullah istilah bahasa umum dan bahasa khusus.
Keserasian, yakni bahwa kata yang digunakan sasuai dengan maksud atau impian penulis atau pembicara.
Dengan melihat dari umum dan khusus  kata. Untuk mengambil kesimpulan, biasanya kita akan menggunakan kata-kata umum. Sedangkan untuk memerinci suatu hal kita akan menggunakan kata-kata khusus.
Kata umum biasanya dipertentangkan dengan kata khusus. Perbedaan diantara keduanya didasarkan atas ruang lingkup semantiknya. Semantik luas dan umum jangkauan makna suatau kata, semakin umum pula sifatnya. Sebaliknya semakin sempit jangkauan suatu kata, semakin khusus pula sifatnya. Karena keluasan daya jangkaunya, kata umum digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau wangsit umum, sedangkan kata khusus digunakan untuk penjabarannya.
Unggas ialah kata umum, sedangkan ayam, burung,bebek,dan angsa  ialah kata khusus. Batas keumuman dan kekhususan suatu kat itu bersifat gladual atau bertingkat. Dalam tulisan, konteks kalimat sanggup menjelaskan  tingkat kekhususan kata. Kata burung misalnya,  lebih khusus dari pada kata unggas. Pada   gilirannya kata burung lebih umum dari pada kata merpati, beo,dan cendrawasih.

Memperhatikan  uraian Di atas, semakin umum suatu kata semakin  banyak pula kemungkinan penafsirannya. Sebalinya semakin khusus  suatu kata, semakin terarah pula pemaknaannya. Meskipun  demikian, tidak berarti  kita harus selalu menggunakan kata-kata umum dalam tulisan. Kata-kata  umum tetap diharapkan untuk mengabstraksian, pengklasifikasian, dan generalisasian. Yang harus kita perhatikan sebagai penulis, gunakanlah kata-kata umum kalau benar-benar diperlukan. Untuk menghindari pemaknaan  yang keliru  terhadap kata umum, adakala pemakaian kata itu  sanggup disertai penjelasan-penjelasan yang lebih rinci atau contoh-contoh yang lebih konkret. Dengan demikian, tulisan  kita akan lebih terang dan spesifik.
Tetapi, apakah perincian dari sesuatu yang umum itu selalu sanggup memperjelas pembaca?  Tidak!  Penambahan detail atau rincian adakala semakin mengaburkan makna tulisan. Untuk mengatasinya, ide-ide itu sanggup digandengkan dengan istilah-istilah yang lebih tepat,lebih konkret dan lebih khusus (Keraf, 1981).
Pada umumnya untuk mencapai ketepatan  pengertian lebih baik menentukan kata khusus  dari pada kata umum. Kata umum yang dipertentangkan dengan kata khusus harus dibedakan dari kata denotatif dan konotatif. Kata denotative dan konotatif dibedakan  berdasarkan maknanya, yaitu apakah ada makna pemanis atau nilai rasa yang ada pada sebuah kata. Kata umum dan kata khusus dibedakan berdasarkan luas tidaknya  cakupan makna yang dikandungnya. Bila sebuah kata mengacu kepada suatu hal atau kelompok  yang luas bidang lingkupnya maka kata itu disebut kata umum. Bila ia mengacu kepada pengarahan – pengarahan yang khusus dan konkrit maka kata-kata itu disebut kata khusus.
Karena kata khusus memperlihatkan pertalian yang khusus atau kepada objek yang khusus maka kesesuaian akan lebih cepat diperoleh antara pembaca dan penulis. Semakin khusus suatu kata atau istilah semakin dekat titik persamaan atau pertemuan yang sanggup dicapai antara penulis dan pembaca; sebaliknya semakin umum sebuah istilah semakin jauh pula titik pertemuan antara penulis dan pembaca.

1.  Kata Khusus   
Pada  umumnya kita setuju bahwa semua nama diri merupakan istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan kata-kata tersebut tidak akan menjadikan salah paham. Bahwa nama diri ini merupakan kata khusus, dihentikan disamakan dengan kata yang  denotatif. Kata khusus  memang pada dasarnya mempunyai denotasi yang tinggi tingkatnya. Seorang yang berjulukan Mat Bogong  misalnya, yang dilahirkan tangal sekian, bulan sekian dan tahun sekian, pada dasarnya hanya mempunyai denotasi, dan tidak akan menjadikan konotasi lain selain dari menyebut orang lain.
Tetapi dalam perkembangan waktu, nama diri sanggup juga menjadikan konotasi tertentu. Konotasi itu timbul dari  perkembangan yang dialami orang yang menggunakan nama itu. Kata yang paling khusus itu tetap tidak menjadikan salah paham dalam pengarahannya, tetapi kata itu sudah menjadikan konotasi yang berlainan dalam perkembangan waktu. Kaprikornus kata khusus sanggup bersifat konotatif maupun bersifat konotatif.
Kata-kata yang konkrit dan khusus dengan demikian menyajikan lebih banyak Impormasi kepada pembaca. Memberi imformasi yang jauh lebih  banyak sehingga mustahil timbul salah paham. Tetapi disamping memberi imformasi yang jauh lebih banyak itu, kata khusus juga memberi sugesti yang jauh lebih mendalam.

2.Kata Umum  
Bila kita beralih dari nama diri kepada kata-kata benda misalnya, maka kesulitan itu  akan meningkat. Semakin umum suatu kata, semakin sulit pula tercapai titik pertemuan antara penulis dan pembaca. Sebuah kata benda anjing  contohnya akan menjadikan daya khayal yang berbeda antara penulis dan pembaca. Kita tidak tahu bagaimana tepatnya pengertian dan ciri-ciri anjing itu. Mungkin penulis membayangkan seekor anjing kampung.
Walaupun kata anjing oleh kebanyakan orang dianggap tidak akan membawa perbedaan interpretasi namun lainnya kenyataannya. Setiap orang yang mendengar kata itu akan teringat pada sesuatu yang pernah dikenalnya.
Sesungguhnya perbedaan antara yang khusus dan umum, bagaimanapun juga akan selalu bersifat relatif. Sebuah istilah atau kata mungkin dianggap khusus bila dipertentangkan dengan istilah yang lain, tetapi akan dianggap umum bila harus dibandingkan dengan kata yang lain.
Kesulitan yang sama kita hadapi lagi pada waktu mendengan atau membaca kata-kata yang abnormal dan kata yang menyatakan generalisasi. Banyak kosa kata yang terbentuk sebagai akhir dari konsep yang tumbuh dalam pikiran kita, bukan mengacu kepada  hal yang konkrit. Kata pahlawan,  kebahagiaan  dan sebagainya, akan menjadikan gagasan yang berlainana pada tiap orang, sesuai dengan pengalaman dan pengertiannya mengenai kata-kata itu. Hal yang diwakilinya sukar digambarkan lantaran referensinya itu tidak  bisa diserap pleh pancaindra manusia. Paling tinggi seseorang hanya bisa menyampaikan bahwa dengan kata-kata ini saya maksudkan sekian dan sekian, dan tidak bermaksud demikian.

2.2.8 Hubungan Penalaran dengan Kata Baku
Dari segi baku  tidaknya kata, kita akan berhadapan dengan dengan   situasi. Jika situasi resmi, hendaknya kita menggunakan kata-kata yang baku, sedangkan  dalam situasi santai atau dekat kita boleh menggunakan kata-kata yang tidak baku
Pada dasarnya, ragam tulis dan ragam mulut terdiri  pula atas ragam baku dan ragam tidak baku.
Ragam baku ialah ragam yang dilambangkan  dan diakui oleh sebagian besarwarga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan normal bahasa dalam penggunaannya. Rgam tidak baku ialah ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.
Ragam baku mempunyai  sifat – sifat sebagai berikut :
1.Kemantapan dinamis. Mantap artinya sesuai dengan kaidah bahasa. Dinamis artinya tidak statis, tidak kaku. Bahasa  baku tidak menghendaki adanya bentuk mati.
2.Cendekia. Kata baku bersifat cendekia lantaran kata baku digunakan pada  tempat - tempat resmi. Perwujudan ragam baku ini ialah orang-orang terpelajar. Hal ini dimungkinkan oleh pelatihan dan pengembangan bahasa .Lebih banyak melalui pendidikan formal (sekolah). Di samping itu kata baku sanggup dengan tepat menawarkan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. Kata baku dapat  menawarkan gambaran yang terang dalam otak pendengar atau pembicara.
3.Seragam. Kata baku bersifat seragam. Pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa ialah  penyeragaman bahasa. Pembakuan bahasa ialah pencarian titik-titik keseragaman.
Dalam membuat sebuah karangan  hendaknya memperhatikan tingkat kebakuan  yang digunakan  dalam goresan pena sesuai dengan masalah yang dibahas, jenis tulisan, serta pembacanya. Untuk surat – surat  atau goresan pena pribadi, boleh saja kita menggunakan kata-kata yang tidak baku. Tetapi untuk goresan pena formal,  ibarat karangan dalam bentuk deskripsi kata-kata tak baku seharusnya dihindari.
Pemakaian kata–kata tidak baku untuk sebuah tulisan, karangan mencerminkan kekurangcermatan penulis. Kalaupun kita terpaksa menggunakan kata non baku maka kita hendaknya ditulis dengan abjad tebal atau digaribawahi. Kalau kita ragu-ragu akan kebakuan kata yang akan digunakan, kita sanggup mengeceknya melalui kamus besar bahasa Indonesia.
Ragam baku (standar) ialah ragam bahasa yang  dipergunakan kelas terpelajar di dalam masyarakat. Kelas ini meliputi pejabat pemerintah, guru, penulis dan sebagainya.
Ragam bahasa baku sanggup dikenali dari kata - kata maupun struktur kalimat yang akan digunakan. Kata – kata baku dan non baku sanggup dikenal dari  pilihan dan ejaan.
Perhatikan pasangan kata – kata berikut :
        Kata Baku                Kata Non Baku
        Kaidah                    Kaedah
        Kemana                Kemana
        Tidak                     Enggak
        Berkata                Ngomong
        Membuat                Bikin
        Mengapa                Ngapain
        Memikirkan                Mikirin


2.3  Pengertian Diksi
Mengenai pengertian diksi ini ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa diksi atau pihan kata  pada pada dasarnya ialah berkaitan dengan kegiatan berbahasa baik secara mulut maupun dalam goresan pena hal ini ibarat yang dijelaskan :
Pengertian diksi berdasarkan Arifin dan Tasai (1991 : 145) ialah pilihan kata. Maksudnya, kita menentukan kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu.”Selain itu, pilihan kata juga dimaksudkan untuk menampung perbedaan nuansa makna dan konteks insiden tutur yang berlangsung.
Sedangkan Harimurti (1982), mendefinisikan diksi sebagai pilihan kata dan klarifikasi lapal untuk memperoleh imbas tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang. Dengan kata lain berdasarkan Palede (1995) diksi ialah kemampuan pembicara atau penulis untuk mempunyai kata-kata kemudian menyusun rangkaian kalimat yang sesuai dengan keselarasan dari segi konteks.

Dari ketiga pendapat wacana diksi di atas, terdapat satu kesamaan konsep yaitu diksi itu mempunyai dua konsep utama yang saling berkaitan antara pilihan atau menentukan dan kata sebagai komponen penting. Pilihan atau menentukan artinya menentukan, mengarahkan dengan sengaja untuk menentukan suatu kata.
Sedangkan kata mempunyai pengertian berdasarkan Poespoprodjo (1999 : 50) yaitu sebagai tanda lahir yang menunjuk baik barang-barang (kenyataan) maupun pengertian-pengertian kata wacana barang-barang (kenyataan itu). Poespoprodjo menambahkan bahwakata itu tidak sama dengan pengertian. Dari segi kata-kata ialah ekspresi dan tanda pengertian, tetapi tanda yang tidak sempurna.                                                                                                                                                                                                                                                                        
Diksi atau pilihan kata ini, maksudnya   kita menentukan kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata yang merupakan unsur yang sangat penting terutama dalam karang-mengarang maupun dalam dunia tutur sehari-hari.
Dari beberapa definisi dan pendapat wacana diksi di atas sanggup ditarik suatu kesimpulan bahwa diksi itu pilihan kata yang sanggup digunakan sesorang secara baik dengan cara-cara tertentu dalam kegiatan berbicara atau menulis. Diksi ini digunakan dalam rangkaian kalimat ibarat yang diharapkan dengan memperhatikan hal-hal yang menjadi rambu-rambu dalam menentukan kata ini.
Zulkifli Musaba (1994 : 41) mengemukakan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kata, yaitu kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefektifan. Ada tiga syarat dalam Diksi, yaitu (1) tepat. (2) benar, dan (3) lazim, hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk membandingkan bahasa ragam pergaulan (ragam non baku) dengan bahasa ragam baku.

Dalam menentukan kata ini ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu : kelaziman, ketepatan, kesesuaian, dan keefektifan.

Secara lengkapnya empat hal yang diperhatikan ini sanggup dijelaskan sebagai berikut
1.Kelaziman ; suatu kata dikatakan mempunyai kelajiman bila telah banyak dikenal dan digunakan orang. Hal itu juga berkaitan dengan waktu dan tempat penggunaannya. Dapat saja suatu kata hilang kelaziman lantaran ditelan waktu,berangsur-angsur hilang dari pemakaian di masyarka. Jika sudah tidak digunakan lagi, bukan saja akan tidak lazim, tetapi menajdi lazim atau usang.
2.Ketapatan ; kata dinilai mempunyai ketepan bila digunakan dalam situasi dan tempat pemakaiannya. Pilihan kata diadaptasi dengan jenis dan isi karangan. Kata-kata yang mengarah bias digunakan dalam karya sastra. Ketepatan pemakaian suatu kata berarti ketepatan penempatan dalam suatu karangan. Dari situ muncullah istilah bahasa umum dan bahasa khusus.
3.Kesesuaian ; kata yang digunakan sesuai dengan maksud atau impian penulis atau pembicara.
4.Keefektifan ; berarti semacam dampak atau imbas pemakaian suatu kata dalam kalimat. Hal ini berkaitan dengan nilai rasa suatu kata.

Bentuk dan pilihan kata berkaitan dengan penggunaan kata dalam kalimat. Penggunaan kata yang tepat makna atau bentuk serta pilihan kata yang sesuai tentu akan memudahkan pendengar atau pembaca memahami arti kalimat tersebut.
Seluk beluk pilihan kata merupakan hal yang fundamental dalam karang mengarang. Ketepatan dalam menentukan kata akan sanggup menentukan hingga tidaknya kandungan makna atau maksud yang ada dalam kalimat secara utuh. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengantepat sesuatu yang diinginkan, baik mulut maupun tertulis. Kata merupakan materi bakal untuk karangan. Diksi yang baik akan memungkinkan pengarangnya menyatakan pikiran dan perasaan dalam suatu cara yang sesuai dengan maksudnya.

Dari beberapa pandangan di atas terlihat terang pentingnya menentukan kata. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa menentukan kata yang tepat dan selaras (cocok penggunaanya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga memperoleh imbas tertentu (seperti yang diharapkan) (Depdikbud 1994).
 
Menurut Palede (1995 : 35) hal-hal yang harus diperhatikan ketika menentukan kata yang akan digunakan antara lain :
1.Kriteria humanis psikologis, maksudnya, kata yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitandengan kepentingan manusia, baik yang bekerjasama dengan kognisi, emosi maupun konasi.
2.Kriterian linguistik pragmatis, maksudnya  kata-kata yang dipilih harus sesuai dengan kaidah bahasa yang digunaka, sanggup digunakan sesuai dengan faktor-faktor (konteks).
3.Kriterian Ekonomis, maksudnya kata-kata yang dipilih harus hemat, efektif dan tepat.
4.Kriteri psikologis, maksudnya kata yang dipilih memperhatikan suasana hari, perasaan, nilai rasa, orang yang mendengar atau yang membacanya.
5.Kriteria sosilogis, maksudnya kata-kata yang dipilih tidakmenimbulkan keresahan masyarakat.
6.Kriteria politis, maksudnya kata yang digunakan dihentikan bertentangan dengan aturan dan peraturan yang berlaku pada suatu negara atau daerah.

2.4 Karangan Deskripsi
2.4. 1  Pengertian Karangan Deskripsi
Kata deskripsi berasal dari kata latin describere yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu. Kata deskripsi sanggup diterjemahkan menjadi pemerian terbentuk dari bentuk dasar peri – pemerian yang berati ‘melukiskan sesuatu hal’. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia deskripsi berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara terang dan terinci (Depdikbud, 1990 : 201). Karang deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk goresan pena yang bertalian denghan perjuangan para penulis untuk menawarkan perincian-perincian dari objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1981 : 93).
Karangan deskripsi  merupakan penggambaran suatu keadaan dengan kalimat-kalimat, sehingga menjadikan kesan yang hidup. Penggambaran atau lukisan itu harus kita sajikan sehidup – hidupnya, sehingga apa yang kita lukiskan itu hidup di dalam angan – angan pembaca.

Di dalam suatu dongeng selalu terdapat lukisan, alasannya pelaku dengan segala pertikaiannya selalu terjadi dalam keadaan dan situasi tertentu sebagai latar belakang kejadian.   
Sasaran yang ingin dicapai oleh seorang penulis deskripsi ialah membuat atau memungkinkan terciptanya daya khayal pada para pembaca, seperti mereka melihat sendiri objek tadi secara keseluruhan sebagai yang dialami secara fisik oleh penulisnya.

Menurut pandangan Sabarti Akhdiah (1986 : 133), melalui karangan deskripsi, penulis memindahkan kesan-kesannya, hasil pengamatan, dan perasaannya kepada pembaca. Dia gambarkan  sifat, ciri serta rincian  wujud yang terdapat pada objek yang dilukiskannya. Sesuatu yang dideskripsikan tidak hanya terbatas pada  apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasa, dan diraba, tetapi juga yang sanggup dirasa oleh  hati dan pikiran, ibarat rasa takut, cemas, jijik, kasih dan haru.
Begitu pula suasana yang timbul dari suatu peristiwa.karangan  Deskripsi suatu upaya untuk melukiskan sesuatu dengan kata-kata untuk menghidupkan kesan dan daya khayal kepada pembaca.
Untuk mencapai tujuan deskripsi itu, penulis dituntut untuk bisa menentukan dan mendayagunakan kata-kata yang sanggup memancing kesan serta gambaran indrawi  dan suasana batiniah pembaca. Sesuatu yang dideskripsikan harus tersaji secara gamblang, hidup dan tepat.

Dari uraian di atas sanggup disimpulkan bahwa deskripsi ialah karangan yang bersifat memaparkan suatu fakta atau objek secara detail sehingga pembaca diajak turut mengalami dan mencicipi hal-hal yang disajikan penulis. Agar penyajian lukisan lebih hidup, penulis perlu mengadakan pengamatan terhadap objek yang akan digambarkan.

2.4,1  Pendekatan  karangan Deskripsi
Untuk mencapai  tujuan sebuah karangan deskripsi, banyak cara yang sanggup dilakukan, contohnya dengan penyusunan detail-detail dan objek, cara penulis melihat problem yang telah digarap, perilaku penulis terhadap pembaca, dan cara mengolah fakta, Atau  dengan kata lain  cara pendekatan. Pendekatan dalam pendeskripsian sanggup dibedakan atas pendekata realis, pendekatan impressionistis dan pendekatan berdasarkan perilaku penulis. (Sabarti Akhdiah, 1986 : 135)
Secara lebih lengkap dan terang hal tersebut sanggup dilihar dalam uraian berikut ini :
1.  Pendekatan  Realistis
Dalam pendekatan realistis, penulis berusaha semoga deskripsi yang dibuatnya itu sesuai dengan keadaan sebenarnya,seobyektif mungkin.Perincian-  perincian, perbandingan atara satu penggalan dengan penggalan yang lain dilukiskan sedemikian rupa, sehingga nampak dipotret atau sesuai dengan aslinya. Walaupun demikian, tidak ada sebuah deksripsim pun yang persis sama dengan keadaan yang sebenarnya, atau ibarat yang sanggup dilihat dengan mata (Sabarti Akhdiah 1986 : 135).
2.  Pendekatan Impresionistis
Penulis berusaha menggambarkan sesuatu berdasarkan kesan yang diperolehnya, yang bersifat subjektif. Penulis menonjolkan pilihanya dan interprestasinya. Penulis menyeleksi secara cermat bagian-bagian yang dideskripsikan. Kemudian, gres berusaha menginterprestasikannya. Fakta-fakta yang dipilih oleh penulis harus dihubungkan dengan imbas yang ingin ditampakkan. Fakta-fakta ini dijalin dan diikat  dengan pandangan-pandangan subjektif si penulis.
3.  Pendekatan  Menurut  Sikap  Penulis
Pendekatan sangat  tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, sifat objek, serta pembaca deskripsinya. Dalam menguraikan sebuah persoalan, penulis mungkin mengharapkan semoga pembaca  merasa tidak puas terhadap suatu tindakan atau keadaan, atau penulis mengiginkan  semoga pembaca  juga harus mencicipi bahwa problem yang tengah dihadapi merupakan masalah yang gawat. Penulis juga sanggup membayangkan bahwa akan terjadi  sesuatu yang tidak diinginkan sehingga pembaca dari mula sudah siap dengan perasaan yang kurang enak, seram, takut dan sebagainya.    
Penulis harus tetapkan perilaku yang akan diterapkan sebelum mulai menulis. Semua detail harus dipusatkan untuk menunjang imbas yang  ingin dihasilkan Perincian yang tidak ada kaitannya dan menjadikan keragu-raguan pada pembaca, harus disingkirkan Penulis sanggup menentukan contohnya salah satu sikap, ibarat masa bodoh, bersungguh-sungguh, cermat, perilaku seenaknya, atau perilaku yang ironis. Namun, sikap  yang diambil oleh  penulis, akan dipengaruhi oleh suasana yang terdapat pada dikala itu.
 Bagaimanapun pokok pembicaraan selalu timbul dalam suatu situasi yang khusus. Situasi ini tergantung pada pembaca atau pendengar, dan materi yang disajikan. Situasi ini akan memungkinkan penulis menentukan perilaku yang diambil semoga mencapai tujuan.


2.4.3  Macam-macam Karangan Deskripsi

1. Deskripsi Tempat
Tempat memegang peranan  yang  sangat penting  dalam setiap insiden atau cerita. Semua kisah akan  semua mempunyai latar belakang tempat. Jalannya insiden akan lebih menarik kalau dikaitkan dengan tempat terjadinya  insiden tersebut. Bunyi ombak yang mendesah , desau daun-daunan daun kelapa yang ditiup angin, kicau burung yang saling berkejar-kejaran, dan nyayian nelayan yang menangkap ikannya, akan menambah romantisnya suasana tersebut. Namun seorang   penulis tidak akan menjajalkan begiti saja detail-detail dari suatu tempat ke dalam deskripsinya . Penulis deskripsi harus bisa menyeleksi detail-detail dari suatu tempat yang dideskripsikannya,  sehingga detail yang dipilih betul-betul mempunyai kekerabatan atau berperan pribadi dengan insiden yang dilukiskan.

2.  Deskripsi Orang
Kerumitan insan tidak hanya struktur  anatomi  dan morfologi tubuh, tetapi juga lantaran jiwa dan penalaran yang dimilikinya. Hal ini akan menyulitkan orang menghasilkan yang memuaskan. Seseorang yang sungguh-sungguh membuat deskripsi wacana seorang tokoh harus mengetahui  ciri utama sang tokoh, ibarat tingkah laku, bentuk tubuh, watak, penampilan dan sebagainya.
Untuk menghidupkan sebuah karangan deskripsi dan untuk menumbuhkan daya imajinasi bagi pembacanya, peranan pilihan kata sangat menentukan. Makna sebuah kata tidak hanya melambangkan sebuah konsep, tetapi sanggup pula mempunyai tingkat-tingkat makna, yang berlainan dengan makna pokok. Dengan kata lain, ada makna konotatif dan makna denotatif. Peranan pilihan kata ini sangat besar dalam menghidupkan sebuah karangan deskripsi, lantaran pada prinsipnya karangan deskripsi itu perjuangan untuk menggambarkan dengan kata-kata wujud atau sifat lahiriah dari suatu benda.

Penulis harus tetapkan perilaku yang diterapkan sebelum mulai menulis. Semua detail harus dipusatkan untuk menunjang imbas yang ingin dihasilkan. Perincian yang tidak ada kaitannya dan menjadikan keragu-raguan pada pembaca, harus disingkirkan. Sikap yang diambil oleh penulis, akan dipengaruhi oleh suasana yang terdapat pada dikala itu. Bagaimanapun pokok pembicaraan selalu timbul dalam situasi yang khusus. Situasi ini tergantung dari pembaca atau pendengar, dan materi yang disajikan. Situasi ini akan memungkinkan penulis menetukan perilaku yang diambil semoga tujuan tercapai.
Jadi berdasarkan tujuannya, sekurang-kurangya harus dibedakan dua macam deskripsi, yaitu deskripsi sugestif   dan deskripsi teknis atau deskripsi ekspositoris.

Dalam deskripsi sugestif penulis berusaha  membuat sebuah pengalaman pada diri pembaca. Pengalaman lantaran pribadi pada obyeknya. Pengalaman atau obyek itu harus membuat sebuah kesan atau interprestasi. Sasaran deskripsi sugestif adalah: dengan perantaraan rangkaian kata-kata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan ciri, sifat, dan tabiat dari obyek tersebut, sanggup diciptakan sugesti tertentu pada pembaca. Dengan kata lain karangan deskripsi sugestif berusaha untuk membuat suatu penghayatan terhadap obyek tersebut melalui imaginasi para pembaca. 
Di pihak lain karangan deskripsi ekspositoris atau deskripsi teknis hanya bertujuan untuk menawarkan identifikasi atau gosip mengenai obyeknya, sehingga pembaca sanggup mengenal bila bertemu atau berhadapan dengan obyek tadi. Ia tidak berusaha untuk membuat kesan atau imaginasi pada diri pembaca. Seseorang yang berusaha untuk mendeskripsikan keadaan bahasa Indonesia  dari Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis  sesuai keadaan yang nyata cukup umur ini, biasa dikatakan bahwa ia membuat karangan deskripsi wacana bahasa Indonesia. Demikian pula bila ia mendeskripsikan sesuatu obyek tertentu semoga orang lain mengetahui hal itu secara tepat, juga sanggup dikatakan secara umum ia mendeskripsikan obyek itu.

Sebuah obyek karangan deskripsi tidak hanya terbatas pada apa yang sanggup dilihat, didengar, dicium, dirasa, atau diraba.
Seseorang sanggup mengadakan deskripsi wacana perasaan hati, entah perasaan yang timbul dalam diri seseorang lantaran ketakutan, kecemasan, keengganan, kejijikan atau perasaan cinta, terharu, benci dendam dan sebagainya. Suasana yang timbul pada suatu peristiwa, keadaan yang timbul oleh panasnya terik matahari, semuanya sanggup dideskripsikan secara cermat oleh penulis yang ahli. Malahan apa yang kiranya dipikirkan atau direncanakan untuk dilakukan sanggup pula dideskripsikan.
Jadi  dalam menggarap sebuah karangan deskripsi yang baik, dituntut dua hal :
1.Kesanggupan berbahasa dari seorang penulis, yang kaya akan nuansa dan bentuk.
2.Kecermatan pengamatan dan ketelitian penyelidikan.
3.Dengan kedua pernyaratan tersebut seorang penulis sanggup menggambarkan obyek dalam kata-kata yang penuh arti dan tenaga, sehingga mereka yang membaca gambaran  tadi sanggup menerimanya seperti mereka sendiri melihatnya. Pilihan kata (diksi) yang tepat sanggup melahirkan gambaran yang hidup dan segar di dalam imaginasi pembaca. Perbedaaan – perbedaaan yang  sangat  kecil dan halus dari apa yang dilihatnya dengan mata, harus diwakili oleh kata-kata khusus.
Meskipun demikian semua perbedaan yang mendetail diserapnya melalui pancaindranya itu harus bahu-membahu membentuk kesatuan yang kompak wacana obyek tadi.

2.4.4  Hubungan Deskripsi dengan Tulisan Lain
Karangan deskrisi merupakan alat Bantu yang efektif untuk lebih menghidupkan pokok pembicaraan, untuk menghindari rasa kebosanan dan keengganan para pembaca. Gagasan yang bersifat umum atau uraian-uraian yang abnormal mungkin tidak sanggup segera dilihat atau diterima oleh pembaca.Tetapi apabila hal-hal yang umum dan abnormal tadi dipaparkan dalam perincian-perincian yang kongkrit  dan terarah, maka pembaca akan lebih mudah  menerimanya. Sebaliknya pembaca juga akan menolak. Kalau ternyata pola yang bersifat deskriptif itu tidak mengandung titik-titik singgung  dengan gagasan umumnya.
Perincian ini harus diberikan sedemian rupa sehingga obyeknya benar-benar terpancang di depan mata pembaca.,serta sanggup pula menjadikan kesan atau daya khayal pada pembacanya.
Dalam pendekatan realistis, penulis berusaha semoga deskripsi yang dibuatnya itu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seobyek mungkin. Perincian-perincian  perbandingan antara satu penggalan dengan penggalan yang lain dilukiskan sedemikian rupa,sehingga nampak  ibarat dipotret atau sesuai dengan aslinya. Walaupun demikian, tidak ada sebuah deskripsi pun yang persis sama dengan keadaan yang sebenarnya, atau ibarat yang sanggup dilihat dengan mata.(Sabarti Akhdiah, 1986 : 133 – 142).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan .............................
3.4 Saran-saran ....................................


SUMBER REFENSI:
Akhadiah, Sabarti, DR. Prof. M.K.1986. Menulis II.  Jakarta: Universitas Terbuka.
Akhadiah, Sabarti, DR. Prof. M.K.1989.  Menulis  I.  Jakarta: Universitas Terbuka
Chaer, Abdul, Drs,1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:  Rinala Cipta.
Chair, Abdul dan Muliastuti Liliani. 1998. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Keraf, Gorys,  Dr. 1981 Eksposisi dan Deskripsi. Jakarta:  Nusantara.
_______________  Diksi dan Gaya Bahasa.  Jakarta:  Nusa Indah.
_______________. Tata Bahasa Indonesia. 1984,  Jakarta:  Nusa Indah.
Moeliono, M. Anton. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta:  Balai Pustaka.
____________________. 1997. Terampil Menulis Dalam Bahasa Indonesia Yang Benar. Banjarmasin: Sarjana Indonesia.
Poespoprodjo,W. DR.SH. SS.B.ph.l.ph dan EK.T. Gilarso. Drs.1999. Logika Ilmu Menalar, Bandung: Pustaka  Grafika.
Sumaryono, E. 1998. Dasar-dasar Logika. Yogyakarta : Kanisius
Surana , PX . Spd. 1995. Materi Pelajaran Bahasa Indonesia.  Solo.
Tarigan, Djago. Drs fan Sulistiyaningsih, Lilis Siti. Dra.1998. Analisis Kesalahan Berbahasa,  Jakarta:  Universitas Terbuka.
__________________________.  Pengajaran Kosa Kata. Bandung: Angkasa.                                       
Tim Penyusun  Kamus Pusat Bahasa.2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

0 Response to "Contoh Makalah Pikiran Sehat Diksi Dalam Karangan Deskripsi Siswa"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel