Etika Berbicara Yang Baik Dan Benar

Warga berguru dan siswa--sekalian, semua orang kecuali yang tuna wicara atau tuna rungu (bisu tuli) niscaya bisa berbicara. Namun tidak setiap orang bisa berbicara dengan baik dan benar. Kalau bicara sekedar bicara, anak kecil pun bisa. Balita usia 2-3 tahun sudah berakal berbicara, minimal sanggup memanggil ayah ibunya. Bahkan tangisan bayipun gotong royong merupakan bentuk bicara juga.

Berbicara ialah mengeluarkan, menyusun kata-kata secara teratur melalui lisan sehingga sanggup dimengerti oleh lawan bicaranya. Bicara di sini diartikan sebagai bentuk komunikasi, dengan bicara maka komunikasi sanggup terjalin, Tetapi berkata-kata tanpa artipun gotong royong bicara juga, hanya saja belum dimasukan ke dalam kategori komunikasi.

Kemampuan bicara menjadi penting dalam konteks menjalin hubungan komunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangannya, bicara menjadi lebih ruwet lantaran ada batasan-batasan etika dan aturannya. Bicara kemudian terkotak-kotak oleh kepentingan dan maksud-maksud tertentu. Setiap aspek kehidupan mempunyai aturan dan etika tersendiri dalam berbicara.

Faktor utama dalam berbicara ialah bahasa. Makna bahasa kini lebih luas lagi, bukan hanya merujuk pada suku bangsa tetapi sudah merambah pada disiplin ilmu. Kita kini tidak hanya mengenal bahasa jawa, Madura, Sunda dan sebagainya yang menurut kesukuan, melainkan bahasa ekonomi, bahasa politik dan sebagainya dalam lingkup disiplin ilmu.

Selanjutnya, dari bahasa tadi menghipnotis etika dan aturan bicara. Antara bahasa aturan dan bahasa ekonomi ada aturan dan etikanya sendiri, menyerupai halnya bahasa Jawa dan bahasa Sunda yang di dalamnya tidak terpisahkan oleh adat istiadat dan budaya dari mana bahasa itu berasal.

Dalam pergaulan etika berbicara itu penting, dihentikan asal bicara. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan sosial, seseorang biasanya semakin tinggi pula etikanya dalam berbicara. Kelas pendidikan dan sosial sering menjadi faktor pembeda dalam berbicara. Antara bahasa tukang becak dan dosen terang berbeda. Dan bial dibolak-balik hasilnya akan semakin semrawut.

Kesannya akan lain. Seorang dosen dengan strata pendidikan tinggi rasanya tidak pantas berbicara dengan gaya bahas tukang becak yang terbiasa kasar, cespleng dan tidak mengenal unggah-ungguh. Sebaliknya, tukang becak akan menjadi lucu bila memaksakan diri berbicara dengan langgam berbicara seorang dosen yang cenderung ilmiah dan rumit dicerna orang biasa.

Tujuan utama berbicara ialah menciptakan lawan bicara mengerti apa yang dikatakannya. Tidak peduli bahasa apa yang dipakai, punya ungguh-ungguh atau tidak, yang penting orang yang diajak berbicara menangkap dengan terang maksudnya. Tetapi dalam perkembangannya, seiring dengan kemajuan peradaban, mengerti saja tidak cukup.

Sekarang ini, disamping sanggup dimengerti harus pula mencerminkan etika, termasuk didalamnya ialah unggah-unggah. Apalagi di dunia timur (oriental)yang sangat menghormati nilai-nilai kesopanan, unggah-ungguh menjadi faktor yang tak boleh ditinggalkan. Khususnya di masyarakat Jawa, Unggah-ungga memegang peranan sangat dominan.

Bahkan bahasa yang dipakaipun berlainan antara bicara kepada orang tua, adik, atasan dan sebagainya. Orang akan semakin dihormati apabila tahu unggah-ungguh. Dan bila unggah-ungguh itu dilanggar, adat-istiadat sudah menyiapkan sangsinya. Orang yang tidak tahu sopan-santun dalam berbicara niscaya akan dikucilkan selamanya.



1. Berbicara Harus Menatap Lawan Bicara

Yang harus anda perhatikan ketika berbicara ialah konsentrasikan diri anda sepenuhnya kepada lawan bicara. jangan melihat ke arah lain sehingga menciptakan lawan bicara tersinggung. Menatap lawan bicara sungguh-sungguh (bukan mendelik/melirik) termasuk etika berbicara yang baik. Obyek anda ialah lawan bicara bukan yang lain.

jangan tinggalkan etika ketika anda sedang berkomunikasi dengan orang lain. Kita sendiri juga niscaya tersinggung jikalau ada orang lain mengajak bicara tiba-tiba memutar hidungnya ke tempat lain. Mau menanggapi bicaranya saja gotong royong sudah harus disyukuri, jangan malah berpindah hati.

Bicara itu bukan hanya dengan mulut, tetapi juga dengan hati dan seluruh badan kita kecuali kalau kita berbicara melalui telepon. Ketika berbicara usahakan seluruh gerak badan kita mengarah ke lawan bicara sehingga kita tahu bagaimana reaksi lawan bicara ketika membalas apa yang kita ucapkan. Kalau pandangan kita beralih ke tempat lain, kita tahu apakah lawan bicara lapang dada dengan ucapannya atau tidak. Bisa jadi lawan bicara bilang baiklah tetapi mimik wajahnya dan kita tahu lantaran pandangan kita tidak tertuju kepadanya.

Pada dikala berbicara semestinya kita seudah mempersiapkan mental kita sepenuhnya. Karena yang kita hadapi ialah insan yang mempunyai perasaan, bisa bahagia dan susah, bisa tersinggung dan marah-marah. Oleh lantaran itu, baik itu mimik maupun mata kita harus menampakan wajah yang akrab dan sungguh-sungguh. 

2. Suara Harus Terdengar Jelas
Disamping kita harus menatap lawan bicara, yang tak kalah pentingnya ialah menata bunyi kita biar lawan bicara sanggup menangkap dengan terang apa yang sedang kita bicarakan. Tidak boleh terlalu terburu-buru dan jangan terlalu pelan. Usahakan bunyi yang keluar bisa terdengar terang biar lawan bicara sanggup terdengar apa yang kita ucapkan.

Karena kondisi tertentu seringkali kita tidak sanggup mengontrol bunyi kita, sehingga menjadi terlalu cepat. Lawan bicara merasa perlu menegaskan kembali dengan bertanya balik. Atau lantaran tidak ingin didengar orang lain, kita berusaha merendahkan intonasi bunyi sehingga di indera pendengaran lawan bicara terdengar menyerupai desis ular. Kedua-duanya bukan cara yang efektif dalam berbicara.

Berbicara dengan pelan tapi terang terdengar. Tidak perlu terlalu keras tidak perlu terlalu lemah. Yang perlu kita perhatikan pula ialah tingkat emosional kita. Bicaralah ketika emosi kita sedang tidak konsentrasi. contohnya kalau kita sedang murka atau sedih, usahakan biar kemarahan atau kesedihan tersebut tidak terlihat oleh lawan bicara.

Percuma saja kita berbicara terburu-buru hingga nafas kita tersengal-sengal, lawan bicara susah mengerti. Atau terlalu lembut menyerupai orang yang sedang dirundung derita berkepanjangan, sehingga hanya terdengar menyerupai rintihan yang menyayat hati. Oleh lantaran itu hindarilah berbicara terburu-buru atau terlalu pelan. Sebab dalam kondisi berbicara menyerupai itu, sulit untuk meninta respon yang obyektif dari lawan bicara.

Di samping tidak efektif, pembicaraan yang kurang terdengar terang di indera pendengaran lawan bicara adakala menimbulkan kejengkelan bagi lawan bicara. Maunya ingin cepat-cepat selesai tetapi malah menimbulkan problem gres yang tidak selesai-selesai. Tentunya ini akan merugikan diri kita sendiri.

3. Gunakanlah Tata Bahasa yang Baik dan Benar
Bahasa sanggup mengambarkan kualitas kepribadian dan latar belakang seseorang. Bahasa pegawai kantor, terang berbeda dengan orang berjualan di pasar. Salah satu unsur pembedanya terdapat dalam pemakaian tata bahasa yang digunakan. Bahasa pegawai kantor terang lebih punya etika dari pada orang pasar. Bahasa anak gaul berbeda dengan bahasa aristokrat keraton.

Sebelum berbicara sebaiknya kata-kata diatur terlebih dahulu. Jangan hingga di tengah kalimat tiba-tiba putus lantaran kita tidak tahu apa yang akan kita bicarakan. Dan tentunya dihentikan memakai kata-kata yang kasar, apalagi yang meninggung hati lawan bicara.

Kita harus mengetahui mana subyek, mana predikat, obyek dan keterangan dalam sebuah kalimat. Kita harus tahu pula bagaimana menempatkan perangkat kalimat pada tempat yang benar. jangan hingga kita galau dengan kalimat yang kita ucapkan sendiri. Umpamanya dengan membolak-balik kedudukan subyek, predikat dan obyek sehingga menjadi kalimat yang tidak beraturan.


4. Jangan memakai Nada Suara yang Tinggi
Citra pegawai kantor ialah gambaran kesopanan artinya orang lain melihat pegawai kantor sebagai orang yang tahu etika, punya tata-krama dan santun dalam segala tindak-tanduknya. Sikap dan perilakunya mencerminkan orang berpendidikan.

Kesan tersebut akan semakin membekas ketika kita sedang berbicara. Dari pembicaraan itu orang lain akan sanggup menilai, apakah kita seorang pegawai kantor atau bukan. Gaya bicara, intonasi yang dipakai, dan tata bahasa, terang besar lengan berkuasa besar di indera pendengaran pendengar.

Sebagai pegawai kantor, sebaiknya kita berbicara dengan kalimat yang terang dan intonasi yang sedang-sedang saja. Tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu rendah. Tunjukan kesan bahwa kita bisa mengontrol intonasi dengan baik.

Pakailah nada bunyi yang datar-datar saja, sehingga setiap orang sanggup mendengarnya dengan baik. Kalau terlalu tinggi dikhawatirkan tidak semua pendengarnya sanggup mendengar dengan baik. Apalagi jikalau kita ditunjuk sebagai pembicara, nada bunyi harus benar-benar dijaga. Sebab, pendengar dalam sebuah lembaga baik ceramah maupun diskusi cenderung beragam.

Jika nada bunyi terlalu tinggi kita akan cepat letih. Orang mustahil sanggup berteriak selama satu jam terus-menerus. Apa yang kita bicarakan sebaiknya sanggup kita nikmati jangan malah menjadi beban.

Disamping itu, kurang beretika rasanya kalau kita berbicara dengan nada bunyi yang tinggi. Kecuali jikalau kita sedang mengkremasi semangat para belum dewasa muda untuk terjun ke medan perang. Dalam situasi yang biasa, kondusif dan tidak darurat, Sebaiknya nada bunyi kita tidak terlalu tinggi.


5. Pembicaraan Praktis Dimengerti

Tujuan utama berbicara ialah untuk menciptakan lawan bicara mengerti apa yang sedang kita bicarakan. Oleh lantaran itu, sebaiknya kita cukup toleran dengan para pendengar kita. Kita harus pandai-pandai menentukan lawan bicara, lantaran hal ini berkaitan dengan bahasa yang kita pakai. Jangan lantaran ingin dianggap sebagai pegawai kantor ke mana-mana kita selalu memakai bahasa tingkat tinggi.

Kita harus berakal beradaptasi dengan kondisi dan latar belakang lawan bicara yang kita hadapi. Jangan terjebak oleh impian untuk menjaga image atau gengsi sehingga mengorbankan lawan bicara.

Pakailah bahasa yang sederhana dan gampang dimengerti. Tidak penting anggapan orang lain terhadap diri kita, yang penting ialah orang lain mengerti terhadap apa yang sedang kita bicarakan. Biarkan orang lain menganggap diri kita bodoh, dan seakan-akan pitar mereka, itu hak mereka.

Sering kita mendengar ada orang berbicara dengan memakai bahasa yang tinggi. Padahal pendengarnya hanya para pedagang yang tidak sempat mengikuti perkembangan jaman. Memang ia berhasil membangun kesan di tengah audiennya bahwa ia pembicara yang pandai, Tetapi ketika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mengerti, mereka malah bingung.

Kita semua niscaya punya pengalaman yang sama ketika mengikuti khotbah Jum'at. Ada khatib yang selama khotbahnya memakai bahasa Arab di tengah jamaah yang seluruhnya orang Indonesia. yakinkah anda bahwa jamaah mengerti isi khotbah tersebut?

Tipsnya sebelum mengajak bicara, ketahuilah dulu siapa lawan bicaranya. Kalau memang lawan bicara lebih gampang mengerti dengan bahasa daerah, maka kita harus menyesuaikan diri.

Dari bahasa di atas semakin mengertilah kita bahwa ternyata berbicara itu tidak semudah yang kita bayangkan. Tetapi penulis juga tidak sedang mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa berbicara itu sukar. Singkatnya, sebagai pegawai kantor kita harus tetap menjaga dengan baik etika kita dalam berbicara.


Sumber : Disarikan dari Modul Etika Kerja Kesetaraan paket C Sekolah Menengan Atas 2009.

0 Response to "Etika Berbicara Yang Baik Dan Benar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel